Senin, 02 Desember 2013

INFAQ DAN WAKAF


Kajian Fiqih;
INFAQ DAN WAKAF
(Lanjutan  dari Zakat, Hibah dan Hadiah)


A. INFAQ

Pengertian Infaq
Asal kata infaq dari bahasa arab, yaitu (أنفق – ينفق – إنفاقا) yang bermakna mengeluarkan atau membelanjakan harta.
Berbeda dengan yang sering kita pahami dengan istilah infaq yang selalu dikaitkan dengan sejenis sumbangan atau donasi, istilah infaq dalam bahasa Arab sesungguhnya masih sangat umum. Intinya, hanya mengeluarkan harta atau membelanjakannya, apakah untuk kebaikan, donasi, atau sesuatu yang bersifat untuk diri sendiri, atau bahkan keinginan dan kebutuhan yang bersifat konsumtif, semua masuk dalam istilah infaq.
Dalam masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, kata infaq sering digunakan hanya diartikan untuk memberikan donasi/ sumbangan, baik untuk mesjid, sarana agama, fakir miskin, yatim piatu dll

a. Membelanjakan Harta
Mari kita lihat istilah infaq dalam beberapa ayat quran, misalnya :
لَوْ أَنفَقْتَ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً مَّا أَلَّفَتْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ
Walaupun kamu membelanjakan semua yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka. (QS. Al-Anfal : 63)
Dalam terjemahan versi Kementerian Agama RI tertulis kata anfaq dengan arti : membelanjakan dan bukan menginfaqkan. Sebab memang asal kata infaq adalah mengeluarkan harta, mendanai, membelanjakan, secara umum apa saja. Tidak hanya terbatas di jalan Allah, atau sosial atau donasi.

b. Memberi Nafkah
Kata infaq ini juga berlaku ketika seorang suami membiayai belanja keluarga atau rumah tangganya. Dan istilah baku dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan nafkah. Kata nafkah tidak lain adalah bentukan dari kata infaq. Dan hal ini juga disebutkan di dalam Al-Quran :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain , dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa`: 34)

B. WAKAF

1. Pengertian wakaf
Wakaf ialah mengalihkan hak milik pribadi menjadi milik suatu badan atau organisasi yang memberikan manfaat bagi masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan kebaikan dan ridha Allah SWT. Atau wakaf dapat diartikan pemindahan kepemilikan suatu barang yang dapat bertahan lama untuk diambil manfaatnya bagi masyarakat dengan tujuan ibadah dan mencari ridha Allah. Barang tersebut tidak boleh diperjualbelikan atau dihadiahkan kepada orang lain atau diwariskan.

2. Hukum wakaf
Wakaf hukumnya sunnah dan harta yang diwakafkan terlepas dari pemiliknya untuk selamanya, lalu menjadi milik Allah semata-mata, tidak boleh dijual atau dihibahkan untuk perseorangan dan sebaginya. Pahalanya akan terus mengalir kepada orang yang mewakafkan, karena termasuk shadaqah jariyah (shadaqah yang mengalir pahalanya).
Rasulullah SAW. bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ ابْنُ اَدَمَ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Abi Hurairah RA. sesungguhnya Nabi SAW. telah bersabda: “Apabila manusia telah meninggal dunia, maka putuslah semua amalnya darinya kecuali tiga perkara, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan atau anak shalih yang mendoakan kepadanya.” (HR Muslim)
Bagi orang yang telah menyerahkan hak miliknya untuk wakaf, hilanglah hak milik perorangan, dan Allah SWT. menggantikannya dengan pahala meskipun orang yang memberikan wakaf (wakif) telah meninggal dunia, selama harta yang diwakafkan masih digunakan manfaatnya.

3. Rukun wakaf
a.  Orang yang mewakafkan (wakif)
b.  Pihak yang menerima wakaf (maukuf lahu)
c.  Barang yang diwakafkan (maukuf)
d. Ikrar serah terima wakaf (lafadz/sighat wakaf)

4. Syarat-syarat wakaf
a.       Orang yang mewakafkan mempunyai hak untuk melakukan perbuatan tersebut.
b.      Atas kehendak sendiri dan tidak ada unsur-unsur paksaan. Tidak sah mewakafkan karena terpaksa.
c.    Pihak yang menerima wakaf jelas adanya.
d.   Barang yang diwakafkan untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk kepentingan pribadi.
e.    Barang yang diwakafkan berwujud nyata pada saat diserahkan.
f.     Barang yang diwakafkan adalah barang yang bisa bertahan lama.
g.    Berlaku untuk selamanya, artinya tidak terikat oleh waktu tertentu.
h.    Orang yang mewakafkan tidak boleh menarik kembali wakafnya.
i.      Ikrarnya jelas. Lebih afdhal jika dibuktikan secara tertulis misalnya dalam bentuk akte notaris, surat wakaf dari pengadilan Agama atau kantor urusan Agama.

5. Macam- macam barang yang diwakafkan
Barang wakaf adalah yang bisa bertahan lama. Misalnya bangunan, tanah, kitab/buku, Al-Quran, alat-alat kantor, rumah tangga; seperti tikar, bangku, meja dan lain-lain. Maka barang yang  tidak bisa bertahan lama tidak termasuk barang wakaf. Misalnya beras, minuman dan sebagainya. Barang-barang seperti ini termasuk hadiah atau infak, atau shadaqah dalam pengertian umum.
Barang yang diwakafkan juga bukan barang yang terlarang/haram zatnya maupun terlarang/haram hakikatnya seperti barang hasil curian. Sebab wakaf hanya terbatas pada hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat banyak, baik untuk beribadah kepada Allah secara langsung (vertikal) maupun hubungan sesama manusia (horisontal)

6. Mengganti barang wakaf
Prinsip-prinsip wakaf di atas adalah pemilikan terhadap manfaat suatu barang. Barang asalnya tetap, tidak boleh diberikan, dijual atau dibagikan. Maka barang yang diwakafkan tidak boleh diganti. Namun persoalannya akan lain jika misalnya barang wakaf itu tadi sudah tidak dapat dimanfaatkan, kecuali dengan memperhitungkan harga atau nilai jual setelah barang tersebut dijual. Artinya hasil jualnya dibelikan gantinya. Dalam keadaan seperti ini mengganti barang wakaf dibolehkan.
Adapun sebab-sebab penggantian barang wakaf antara lain sebagaimana di bawah ini:
a.       Penggantian karena rusak, sehingga manfaatnya berkurang atau mungkin hilang. Misalnya wakaf sound system yang sudah rusak karena sudah lama dipakai. Lalu diganti dengan yang lebih baik. Contoh lain misalnya mengganti (membangun) masjid yang rusak. Meskipun bangunan masjid tersebut adalah wakaf, tapi karena manfaatnya semakin hilang, maka dibolehkan untuk menggantikannya agar dapat mencapai maksud yang sebenarnya.
b.      Penggantian karena kepentingan yang lebih besar. Misalnya mengganti masjid dengan yang lebih layak lagi bagi kepentingan penduduk setempat. Ini diperbolehkan oleh Imam Ahmad, yang berdalih bahwa Umar bin Khattab memindahkan masjid Kufah ke tempat yang lain yang lebih layak. Sementara masjid lama tanahnya dijadikan pasar buah-buahan.
Demikian juga bila yang diwakafkan itu menghasilkan sesuatu, boleh juga diganti dengan yang lebih baik. Misalnya wakaf warung/kedai, kebun dan lain-lain. Yang demikian itu adalah pendapat Abu Tsaur dan ulama-ulama lainnya seperti Abu Ubaid bin Harbawaihi. Hal ini merupakan kias dari ucapan Imam Ahmad tentang pemindahan masjid. Bahkan diperbolehkan menggantikan bangunan masjid dengan bukan masjid karena karena alasan kemashlahatan atau manfaat, akan tetapi Imam Syafi’i melarang menggantikan masjid, hadiah dan tanah wakaf dengan yang lain.
c.       Penggantian karena kebutuhan. misalnya kuda perang yang diwakafkan, dijual dan harganya/uang penjualannya dibelikan kepada sesuatu yang lebih dibutuhkan masyarakat. Menggantikan wakaf semen untuk bangunan masjid karena jumlahnya sudah  terlalu banyak, lalu dijual dan dibelikan ubin yang sangat dibutuhkan dan lain-lain.

7. Pengaturan wakaf di Indonesia
            Selain ketentuan- ketentuan secara syar’i sebagaimana dijelaskan di atas, pengaturan wakaf di Indonesia juga diatur dalam undang- undang, yaitu; UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar