Kajian Fiqih;
INFAQ
DAN WAKAF
(Lanjutan dari Zakat, Hibah dan Hadiah)
A. INFAQ
Pengertian Infaq
Asal
kata infaq dari bahasa arab, yaitu (أنفق
– ينفق – إنفاقا)
yang bermakna mengeluarkan atau membelanjakan harta.
Berbeda
dengan yang sering kita pahami dengan istilah infaq yang selalu dikaitkan
dengan sejenis sumbangan atau donasi, istilah infaq dalam bahasa Arab
sesungguhnya masih sangat umum. Intinya, hanya mengeluarkan harta atau
membelanjakannya, apakah untuk kebaikan, donasi, atau sesuatu yang bersifat
untuk diri sendiri, atau bahkan keinginan dan kebutuhan yang bersifat
konsumtif, semua masuk dalam istilah infaq.
Dalam
masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, kata infaq sering digunakan hanya
diartikan untuk memberikan donasi/ sumbangan, baik untuk mesjid, sarana agama,
fakir miskin, yatim piatu dll
a. Membelanjakan
Harta
Mari
kita lihat istilah infaq dalam beberapa ayat quran, misalnya :
لَوْ
أَنفَقْتَ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً مَّا أَلَّفَتْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ
Walaupun kamu
membelanjakan semua yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan
hati mereka. (QS. Al-Anfal : 63)
Dalam
terjemahan versi Kementerian Agama RI tertulis kata anfaq dengan arti :
membelanjakan dan bukan menginfaqkan. Sebab memang asal kata infaq adalah
mengeluarkan harta, mendanai, membelanjakan, secara umum apa saja. Tidak hanya
terbatas di jalan Allah, atau sosial atau donasi.
b. Memberi Nafkah
Kata
infaq ini juga berlaku ketika seorang suami membiayai belanja keluarga atau
rumah tangganya. Dan istilah baku dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan
nafkah. Kata nafkah tidak lain adalah bentukan dari kata infaq. Dan hal ini
juga disebutkan di dalam Al-Quran :
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian
mereka atas sebahagian yang lain , dan karena mereka telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka. (QS. An-Nisa`: 34)
B. WAKAF
1. Pengertian wakaf
Wakaf ialah mengalihkan hak milik pribadi menjadi
milik suatu badan atau organisasi yang memberikan manfaat bagi masyarakat
dengan tujuan untuk mendapatkan kebaikan dan ridha Allah SWT. Atau wakaf dapat
diartikan pemindahan kepemilikan suatu barang yang dapat bertahan lama untuk
diambil manfaatnya bagi masyarakat dengan tujuan ibadah dan mencari ridha
Allah. Barang tersebut tidak boleh diperjualbelikan atau dihadiahkan kepada
orang lain atau diwariskan.
2. Hukum wakaf
Wakaf hukumnya sunnah dan harta yang diwakafkan terlepas dari
pemiliknya untuk selamanya, lalu menjadi milik Allah semata-mata, tidak boleh
dijual atau dihibahkan untuk perseorangan dan sebaginya. Pahalanya akan terus
mengalir kepada orang yang mewakafkan, karena termasuk shadaqah jariyah
(shadaqah yang mengalir pahalanya).
Rasulullah SAW. bersabda:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
إِذَا مَاتَ ابْنُ اَدَمَ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ: صَدَقَةٍ
جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ (رواه
مسلم)
Artinya:
Dari Abi Hurairah RA. sesungguhnya
Nabi SAW. telah bersabda: “Apabila manusia telah meninggal dunia, maka putuslah
semua amalnya darinya kecuali tiga perkara, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang
dimanfaatkan atau anak shalih yang mendoakan kepadanya.” (HR Muslim)
Bagi orang yang telah menyerahkan hak miliknya untuk wakaf,
hilanglah hak milik perorangan, dan Allah SWT. menggantikannya dengan pahala
meskipun orang yang memberikan wakaf (wakif) telah meninggal dunia, selama
harta yang diwakafkan masih digunakan manfaatnya.
3. Rukun wakaf
a. Orang
yang mewakafkan (wakif)
b. Pihak
yang menerima wakaf (maukuf lahu)
c. Barang
yang diwakafkan (maukuf)
d. Ikrar serah terima wakaf (lafadz/sighat
wakaf)
4. Syarat-syarat wakaf
a.
Orang yang mewakafkan mempunyai hak untuk melakukan perbuatan
tersebut.
b.
Atas kehendak sendiri dan tidak ada unsur-unsur paksaan. Tidak sah
mewakafkan karena terpaksa.
c.
Pihak yang menerima wakaf jelas adanya.
d.
Barang yang diwakafkan untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk
kepentingan pribadi.
e.
Barang yang diwakafkan berwujud nyata pada saat diserahkan.
f.
Barang yang diwakafkan adalah barang yang bisa bertahan lama.
g.
Berlaku untuk selamanya, artinya tidak terikat oleh waktu tertentu.
h.
Orang yang mewakafkan tidak boleh menarik kembali wakafnya.
i.
Ikrarnya jelas. Lebih afdhal jika dibuktikan secara tertulis
misalnya dalam bentuk akte notaris, surat wakaf dari pengadilan Agama atau
kantor urusan Agama.
5. Macam- macam barang yang diwakafkan
Barang
wakaf adalah yang bisa bertahan lama. Misalnya bangunan, tanah, kitab/buku,
Al-Quran, alat-alat kantor, rumah tangga; seperti tikar, bangku, meja dan
lain-lain. Maka barang yang tidak bisa
bertahan lama tidak termasuk barang wakaf. Misalnya beras, minuman dan
sebagainya. Barang-barang seperti ini termasuk hadiah atau infak, atau shadaqah
dalam pengertian umum.
Barang
yang diwakafkan juga bukan barang yang terlarang/haram zatnya maupun
terlarang/haram hakikatnya seperti barang hasil curian. Sebab wakaf hanya
terbatas pada hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat banyak, baik
untuk beribadah kepada Allah secara langsung (vertikal) maupun hubungan
sesama manusia (horisontal)
6. Mengganti barang wakaf
Prinsip-prinsip
wakaf di atas adalah pemilikan terhadap manfaat suatu barang. Barang asalnya
tetap, tidak boleh diberikan, dijual atau dibagikan. Maka barang yang
diwakafkan tidak boleh diganti. Namun persoalannya akan lain jika misalnya
barang wakaf itu tadi sudah tidak dapat dimanfaatkan, kecuali dengan
memperhitungkan harga atau nilai jual setelah barang tersebut dijual. Artinya
hasil jualnya dibelikan gantinya. Dalam keadaan seperti ini mengganti barang
wakaf dibolehkan.
Adapun sebab-sebab penggantian barang wakaf antara lain sebagaimana
di bawah ini:
a.
Penggantian karena rusak, sehingga manfaatnya berkurang atau
mungkin hilang. Misalnya wakaf sound system yang sudah rusak karena sudah lama
dipakai. Lalu diganti dengan yang lebih baik. Contoh lain misalnya mengganti
(membangun) masjid yang rusak. Meskipun bangunan masjid tersebut adalah wakaf,
tapi karena manfaatnya semakin hilang, maka dibolehkan untuk menggantikannya
agar dapat mencapai maksud yang sebenarnya.
b.
Penggantian karena kepentingan yang lebih besar. Misalnya mengganti
masjid dengan yang lebih layak lagi bagi kepentingan penduduk setempat. Ini
diperbolehkan oleh Imam Ahmad, yang berdalih bahwa Umar bin Khattab memindahkan
masjid Kufah ke tempat yang lain yang lebih layak. Sementara masjid lama
tanahnya dijadikan pasar buah-buahan.
Demikian
juga bila yang diwakafkan itu menghasilkan sesuatu, boleh juga diganti dengan
yang lebih baik. Misalnya wakaf warung/kedai, kebun dan lain-lain. Yang
demikian itu adalah pendapat Abu Tsaur dan ulama-ulama lainnya seperti Abu
Ubaid bin Harbawaihi. Hal ini merupakan kias dari ucapan Imam Ahmad tentang
pemindahan masjid. Bahkan diperbolehkan menggantikan bangunan masjid dengan
bukan masjid karena karena alasan kemashlahatan atau manfaat, akan tetapi Imam
Syafi’i melarang menggantikan masjid, hadiah dan tanah wakaf dengan yang lain.
c.
Penggantian karena kebutuhan. misalnya kuda perang yang diwakafkan,
dijual dan harganya/uang penjualannya dibelikan kepada sesuatu yang lebih
dibutuhkan masyarakat. Menggantikan wakaf semen untuk bangunan masjid karena
jumlahnya sudah terlalu banyak, lalu
dijual dan dibelikan ubin yang sangat dibutuhkan dan lain-lain.
7. Pengaturan wakaf di Indonesia
Selain
ketentuan- ketentuan secara syar’i sebagaimana dijelaskan di atas, pengaturan
wakaf di Indonesia juga diatur dalam undang- undang, yaitu; UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG
WAKAF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar