Minggu, 01 Desember 2013

KEADILAN DALAM ISLAM


PENDAHULUAN
Agama Islam sangat menekankan prinsip keadilan dalam kehidupan, baik kehidupan individu maupun masyarakat. Keadilan adalah ajaran yang dapat menjamin terwujudnya ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat. Islam memberikan jaminan bahwa keadilan yang sempurna dapat dicapai dengan menegakkan hukum Allah swt. dan hukum-hukum   yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. secara konsisten dan  konsekwen tanpa memperturutkan kehendak  atau keinginannya hawa nafsu.
Dalam makalah ini akan diuraikan salah satu ajaran Islam yang dalam penegakannya merupakan perwujudan keadilan, yaitu tentang hukuman Qishash dan Ta’zir. Qishash adalah hukuman yang diberikan kepada orang yang membunuh dengan sengaja atau bagi orang yang merusak/ menghilangkan bagian anggota tubuh manusia. Sedangkan Ta’zir meskipun Islam tidak menentuan bentuk hukumannya, tetapi Islam memberikan pedoman tentang substansi dan implementasi hukumannya, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan didzalimi. Penetapan hukuman ta’zir berlandaskan Qur’an dan Hadits, tetapi bentuk dan pelaksanaannya diserahkan kepada proses ijtihad yang intensif berdasarkan kaidah- kaidah dan norma keadilan.
Qishash dan Ta’zir ini bukan hukuman balasan, apalagi hukuman balas dendam, tetapi hukuman yang seimbang yang diberikan kepada orang- orang yang berbuat kejahatan. Sehingga dengan diberlakukannya hukuman tersebut dapat memberikan pelajaran yang positif bagi manusia.
Qishash dan Ta’zir dapat memberikan gambaran, bahwa betapakan Islam menetapkan hukuman kepada manusia dengan seadil- adilnya, sehingga kedamaian dan ketentraman dapat diwujudkan dalam masyarakat. Di satu sisi jiwa dan raga manusia mendapatkan jaminan perlindungan dan di sisi lain manusia tidak semena- mena melakukan tindakan kejahatan terhadap jiwa dan raga orang lain.

ARTI DAN LANDASAN BERBUAT ADIL
A.    Pengertian Keadilan

         Kata keadilan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata adil yang mendapat imbuhan awalan dan akhiran, berasal dari bahasa Arab, yakni: عدل  yang bermakna: seimbang,   harmonis, lurus, istiqamah, tegak,  kembali, dan lain-lain. Adil dapat pula diartikan dengan   memberikan sesuatu kepada seseorang yang menjadi haknya. Oleh Ibrahim Mustafa menyebutkan dalam kitab Mujamnya “mengambil  dari  mereka  sesuatu  yang  menjadi  kewajibannya”.  Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata adil diartikan dengan 1).Tidak memihak/tidak berat  sebelah, 2). Berpihak kepada kebenaran, 3). Sepatutnya/tidak   sewenang-wenang.[1] 
         M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa kata adil pada awalnya diartikan dengan sama atau persamaan, itulah yang menjadikan pelakunya tidak memihak  atau   berpihak      pada    yang    benar.   Makna ini  menunjukkan  bahwa keadilan itu melibatkan beberapa pihak, yang terkadan saling berhadapan, yakni: dua   atau   lebih,   masing-masing   pihak   mempunyai hak yang patut memperolehnya, demikian sebaliknya masing-masing pihak    mempunyai kewajiban yang harus ditunaikan. Alquran menggunakan beberapa lafaz   yang   bermakna adil yang   dipakai dalam kontes kalimat yang berbeda, yakni: lafaz     قسط ـ عدل ـ ميزان  yang bermakna perintah Allah kepada manusia untuk berlaku adil.        
         Kata adil dalam Alquran berulang  28 kali dengan bermacam-macam bentuk. Dari semua kata adil tersebut, M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh pakar agama, yaitu:
1). Adil dalam arti  sama,
2)  Adil  dalam arti seimbang,
3). Adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu
4). Adil yang dinisbatkan kepada Ilahi.[2]
            Adil sering pula diartikan وَضْعُ الشَّيْئِ فِى مَحَلِّهِ (menempatkan sesuatu pada tempatnya). Adil dengan arti ini menunjukkan bahwa makna adil itu sangat luas, tidak hanya terbatas pada aspek hukum semata, tetapi berbagai aspek kehidupan manusia sehari- hari, baik kehidupan pribadi maupun masyarakat. Penulis menganggap bahwa adil dalam arti ini merupakan pengertian adil yang paling luas.          
Dalam konteks huku adil dapat diartikan: 1) Berpihak kepada kebenaran, 2). Sepatutnya/tidak   sewenang-wenang 3) memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak, dalam keadaan yang sama dan menghukum orang salah atau yang melanggar hukum sesuai dengan kesalahan dan pelanggarannya.

B.     Landasan Berbuat Adil
Agama Islam sangat menekankan prinsip keadilan dalam kehidupan. Allah SWT berfirman:
rtinya: sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu, agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. Nahl: 90)
Dalam ayat di atas Allah SWT memulai perintahNya dengan menyebutkan salah satu nama-Nya yang paling agung yaitu lafzul jalalah; ALLAH. Hal ini mengindikasikan bahwa perintah ini sangat penting dan prinsif. Perintah berbuat adil sebagaimana ayat di atas tidak dibatasi pada aspek- aspek tertentu, melainkan pada seluruh aspek kehidupan manusia.
Keadilan adalah prasyarat dari ketaqwaan. Tak ada seorang pun yang benar-benar takut kepada Allah tanpa berlaku adil. Seorang baru bisa dikatakan memiliki keyakinan kuat jika memiliki perilaku adil dalam hidupnya terhadap Allah dan sesama manusia. Hal ini sebagaimana tergambar dalam firman Allah SWT berikut:
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah: 8)
Dalam ayat lain ditegaskan:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nisa: 135)
Kedua ayat diatas dengan jelas memanggil orang-orang yang beriman agar berbuat adil. Kata al-Adl adalah kata Tauhid, karena salah satu nama Allah adalah al-Adl. dan orang- orang yang beriman diperintahkan untuk breakhlak seperti sifat-sifat Allah yaitu berlaku adil. Adil terhadap diri sendiri, ayah dan ibu, kaum kerabat maupun adil terhadap siapapun orangnya.
Dalam konteks hukum, Allah SWT memerintahkan agar mengadili manusia secara adil. Firman Allah SWT:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.(QS. An- Nisa: 58)
Perintah menetapkan hukum dengan adil di antara manusia adalah merupakan refleksi bagaimana Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin memberikan tuntunan kepada manusia, bahwa untuk mewujudkan kehidupan yang damai dan tentram adalah apabila keadilan sudah ditegakkan dalam sendi- sendi kehidupan manusia. Secara kontekstual tidak hanya ditujukan kepada kelompok sosial tertentu dalam masyarakat melainkan kepada setiap   orang yang   memiliki kekuasaan, kewenangan maupun tanggung jawab mengurus atau memimpin orang lain.
Bentuk keadilan yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sangat banyak ragamnya, antara lain:
a.       Adil terhadap diri sendiri
b.      Adil dalam rumah tangga
c.       Adil dalam bermasyarakat
d.      Adil dalam berekonomi
e.       Adil dalam pemerintahan
f.       Adil dalam peradilan
g.      Adil dalam perwalian/ pengasuhan
h.      Adil dalam kesaksian
i.        Adil terhadap musuh


LANDASAN PEMIKIRAN HUKUM DALAM ISLAM
            Hukum adalah seperangkat ketentuan yang berisikan aturan yang mengikat kepada manusia. Untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang damai, tentram dan harmonis, maka harus ada aturan yang mengikat yang harus ditaati oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga dapat mewujudkan kehidupan masyarakat sesuai dengan yang dicita- citakan. Dalam setiap aturan tersebut ada kewajiban yang harus ditunaikan dan ada hak yang harus didapatkan. Bagi setiap pelanggaran terhadap kewajiban dan pelanggaran terhadap hak orang lain, maka akan mendapatkan konsekuensi atas perbuatannya, yaitu mendapatkan sangsi atau hukuman sesuai dengan tingkat kejahatannya
Setiap orang  memiliki hak   pribadi  yang bersifat asasi,  yakni: hak  hidup,  hak memiliki harta, hak  mendapatkan kehormatan, hak kebebasan, kemerdekaan dan persamaan,  hak   memperoleh  pendidikan  dan   pengajaran.
         Setiap hak harus diserahkan kepada pemiliknya agar kewajiban terlaksana dengan   baik   dan  sempurna, sehingga tegaklah keadilan dalam kehidupannya, yang merupakan salah   satu sendi  kehidupan bermasyarakat disamping berbuat kebajikan.
Maka kemudian muncul konsep aturan Hak Asasi Manusia (HAM), yang intinya berisikan aturan tentang penegakkan keadilan berdasarkan nilai- nilai kemanusiaan.  Konsep ini menegaskan bahwa setiap  orang punya  hak individu dalam masyarakat yang harus   mendapat perlindungan   dan   perlakuan   hukum   secara   adil.
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[3]
Akan tetapi pada tataran aplikasinya, konsep HAM ini memunculkan beragam aturan yang sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi dimana masyarakatnya berada, sehingga konsep HAM ini bersifat parsial dan konditional.  Hal ini dikarenakan konsep keadilan dalam perspektif HAM adalah konsep keadilan yang sekuler, yang semata- mata berlandaskan kepada pemikiran manusia dan secara konten tidak mengaitkan dengan ajaran suatu agama.
Agama Islam memberikan aturan keadilan secara paripurna dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Landasan konstruksinya adalah Al- Qur’an dan Al- Hadits serta dilengkapi dengan ijtihad (istinbat hukum). Islam memberikan jaminan bahwa keadilan yang sempurna dapat dicapai dengan menegakkan hukum Allah swt.   dan   hukum-hukum   yang   ditetapkan  oleh Rasulullah saw. secara konsisten dan  konsekwen       tanpa memperturutkan kehendak  atau   keinginannya  sendiri.
Allah SWT berfirman

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al- Maidah: 49)
        Meski otoritas keadilan hukum Islam itu berasal dari Allah, tetapi dalam pelaksanaannya ditetapkan di pengadilan, sehingga dalam memutuskannya  didasarkan dengan pembuktian       dan  kesaksian yang adil.
Allah SWT berfirman4
“dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (QS. At- Thalaq: 2).



TINDAKAN YANG BERSANGSIKAN QISHASH
A. Pengertian Qishash
Qishash berasal dari kata قَصَصَ yang artinya memotong atau bersal dari kata اِقْتَصَّ yang artinya mengikuti,menelusuri jejak atau langkah.[4]
Qishash adalah hukuman balasan yang seimbang bagi pelaku pembunuhan maupun pengrusakan anggota badan seseorang  yang dilakukan dengan sengaja.
Yang dimaksud balasan hukuman yang seimbang adalah apabila seseorang membunuh dengan sengaja, maka hukumannya di bunuh pula. Apabila merusak atau menghilangkan anggota badan orang lain dengan sengaja atau aniaya, maka balasannya diberikan seperti pelaku berbuat pada korbannya. Misalnya jika seseorang memotong telinga orang lain dengan sengaja dan aniaya, maka ia harus dipotong pula telinganya.
Pelaksanaan hukum qishash diserahkan kepada hakim, agar mendapatkan hasil putusan yang seadil-adilnya dan tidak boleh dihakimi sendiri. Kecuali kalau dimaafkan oleh korban atau oleh anggota keluarga yang terbunuh, maka qishash tidak dilaksanakan dan diganti dengan diyat.

B. Dasar Hukum Qishash
Membunuh dengan sengaja hukumnya haram, dan pelakunya selain di  dunia harus dijatuhi
hukuman,  kelak di akhirat mendapat siksa yang pedih. Dasar hukum dilaksanakannya qishash telah ditegaskan baik di dalam Al-Quran maupun Hadits. Allah SWT. berfirman:
Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu (hukum) qishash untuk membela orang-orang yang dibunuh; orang merdeka diqishash sebab membunuh orang merdeka; hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Tetapi barangsiapa yang mendapat sebagian keampunan dari saudaranya (ahl waris yang terbunuh) maka hendaklah ia membalas kebaikan itu dengan cara yang baik. Dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang tersebut itu ialah suatu keringanan dan rahmat Tuhanmua. (QS Al-Baqarah [2]: 178)
Selain itu membunuh termasuk dosa besar yang tak diampuni oleh Allah SWT. Nabi SAW. bersabda:
كُلُّ ذَنْبٍ عَسَى اللهُ اَنْ يَغْفِرَهُ اِلاَّ الرَّجُلَ يَمُوْتُ مُشْرِكًا اَوِالرَّجُلَ يَقْتُلُ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا (رواه ابو داود وابن حبان)
 Setiap dosa ada harapan Allah akan mengampuninya, kecuali seorang laki-laki yang mati dalam keadaan syirik atau seseorang membunuh seorang mukmin dengan dengaja.” (HR Abu Dawud, Ibnu Hibban dan Hakim)
Sedangkan dalam hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., Nabi SAW bersabda:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ (رواه مسلم والنسائى والترميذى)
 “Sesungguhnya lenyapnya dunia akan lebih mudah bagi Allah dari pada (hilangnya dosa) seseorang yang membunuh orang Islam.” (HR Muslim Nasa’i dan Tirmudzi)
Adapun balasan yang setimpal di akhirat nanti adalah masuk neraka. Firman Allah SWT.:
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka jahannam, kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besar baginya. (QS Al-Nisa’ [4]: 93)

C. Syarat-syarat  Qishash
Hukuman qishash wajib dilaksanakan apabila memenuhi syarat-syarat sebagaimana di bawah ini:
1.   Pembunuh sudah baligh dan berakal sehat. Maka anak-anak dan orang gila tidak dikenakan hukum qishash.
Rasulullah SAW. bersabda:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّغِيْرِ حَتَّى يَكْبَرَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيْقَ (رواه ابن ماجه واحمد وابو داود)
Artinya:
Dari Aisyah, Nabi SAW. bersabda: “Diangkat hukum (tidak terkena hukuman) dari tiga perkara: orang tidur hingga ia bangun, anak-anak hingga ia dewasa dan orang gila hingga ia sembuh dari gila.” (HR Ahmad dan Abu Dawud)
2.   Pembunuh bukan orang tua dari orang yang dibunuh. Jika orang tua membunuh anak, maka tidak wajib dilaksanakan qishash. Tetapi jika anak membunuh orang tua, maka wajib dilaksanakan qishash. Rasulullah SAW. bersabda:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقِصُّ اْلاَبَ مِنِ ابْنِهِ وَلاَ يُقِصُّ اْلاِبْنِ مِنْ اَبِيْهِ (رواه النرميذر)
Dari Umar bin Khattab ra. diterangkan: Aku pernah mendengar Rasulullah SAW.: “Tidak boleh orang tua diqishash sebab (membunuh) anaknya.” (HR Tirmidzi)
3. Jenis pembunuhan adalah pembunuhan yang disengaja. Pembunuh yang mirip disengaja maupun pembunuhan yang tidak disengaja tidak ada hukum qishash.
4. Orang yang terbunuh terpelihara darahnya, artinya bukan orang jahat. Orang yang membunuh karena membela diri, meskipun pembunuhannya disengaja, tidak ada hukum qishash atasnya. Juga orang mukmin yang membunuh orang kafir, orang murtad dan pezina muhshan tidak ada qishash atasnya.
Nabi SAW. bersabda:
لاَ يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ (رواه البخارى)
 “Orang Islam tidak dibunuh karena membunuh orang kafir.” (HR Bukhari)
5. Orang yang dibunuh sama derajatnya, misalnya orang Islam dengan orang Islam, merdeka dengan merdeka, perempuan dengan perempuan dan budak dengan budak.
Allah SWT. berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh: orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita.” (QS Al-Baqarah (2): 178)
6. Qishash dilakukan dalam hal yang sama: jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, telinga dengan telinga dan lain-lain. Jadi, hukuman yang diberikan pada pelaku harus seimbang dengan apa yang dilakukannya, sehingga akan tegak keadilan.[5]
Hukuman qishash dapat terhapus karena hal- hal sebagai berikut:
1. Hilangnya tempat untuk diqishash
2. Pemaafan
3. Peerdamaian
4. Diwariskan hak qishash.[6]

D. Pembunuhan Oleh Massa
Pembunuhan disengaja yang dilakukan oleh sekelompok orang (lebih dari satu), maka semuanya harus diqishash. Baik itu orang yang langsung membunuh korban, orang yang menyediakan alat untuk membunuh, orang yang membiayai, orang yang membantu dengan pikirannya dan lain-lain, semuanya diqishash. Dalam suatu riwayat diterangkan:

عَنْ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ اَنَّ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَتَلَ خَمْسَةً اَوْ سِتَّةً قَتَلُوْا رَجُلاً غِيْلَةً بِمَوْضِعٍ خَالٍ وَقَالَ لَوْ تَمَاَلأَ عَلَيْهِ اَهْلُ صُنْعَاءَ لَقَتَلْتُهُمْ بِهِ جَمِيْعًا (رواه الشافعى)
Dari Said bin Musayyab, bahwa Umar RA. telah menghukum bunuh lima atau enam orang yang telah membunuh seorang laki-laki secara tipuan di tempat sunyi. Kemudian ia berkata: “Andaikata semua penduduk Sun’a secara bersama-sama membunuhnya, niscaya akan aku bunuh mereka semuanya.” (HR Syafi’i)
Ali bin Abi Thalib pernah mengqishash 3 orang yang bekerja sama membunuh seseorang. Bahkan Mughirah pernah mengqishash 7 orang yang bersekongkol melakukan pembunuhan. Ibnu Abbas berpendapat: “Kalau sekelompok orang membunuh seorang, mereka harus dibunuh meskipun jumlahnya 100 orang dengan cara sama.” Imam Malik berkata: “Menurut kami semua lelaki merdeka yang bersekongkol membunuh seorang lelaki merdeka terkena hukuman qishash, jika pembunuhan tersebut disengaja. Demikian pula wanita-wanita yang bersekongkol membunuh wanita, semuanya harus diqishash. Semua hamba sahaya yang membunuh hamba, maka semuanya mendapatkan qishash.”[7]
Adanya qishash bagi pembunuh lebih dari satu sebagaimana diuraikan di atas memang telah menjadi kesepakatan. Akan tetapi ketika seseorang menangkap seorang laki-laki lain, kemudian ada orang lain yang membunuhnya, sedangkan lelaki yang dibunuhnya itu tidak mungkin dapat dibunuhnya tanpa ditangkap terlebih dahulu, maka dalam kasus ini terdapat perbedaan pendapat. Imam Malik, Al-Laits, dan Al-Nakha’i berpendapat bahwa orang yang menangkap dan membunuhnya harus dibunuh lagi, sebab termasuk berserikat. Sedangkan Imam Syafi’i dan Hambali menyatakan bahwa pembunuhnya harus diqishash, dan orang yang menangkapnya cukup dipenjarakan sampai mati. Pendapat tersebut didasarkan pada sebuah hadits riwayat Ibnu Umar, bahwa Nabi SAW bersabda: “Jika ada seorang laki-laki menangkap lelaki lain dan orang ketiga membunuhnya, maka yang membunuh harus dibunuh, dan yang menangkap harus dipenjarakan.” (HR Daruquthni)

E.  Qishash Anggota Tubuh
Seperti dijelaskan dalam pengertian qishash, bahwa qishash itu adalah hukuman yang seimbang terhadap pelaku kejahatan terhadap badan dan jiwa manusia.
Allah SWT. berfirman:
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan lukapun ada qishashnya.” (QS Al-Maidah [5]: 45)
Tentang luka-luka yang harus diqishash memang dilihat dulu lukanya. Jika lukanya ringan maka tidak ada qishash, tetapi jika luka berat maka ada qishashnya.


TINDAKAN YANG BERSANGSIKAN TA’ZIR
A.    Pengertian Ta’zir
“Ta’zir adalah bentuk masdar dari kata عَزَرَ ـ يَعْزِرُ   yang secara etimologi berarti  اَلرَّ ُّد وَالْمَنْعُ  yaitu menolak dan mencegah. Kata ini juga memiliki arti  نَصَرَهُ  menolong atau menguatkan. Allah SWT berfirman

Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang” (QS. Al- Fath: 9)
Kata ta’zir dalam ayat di atas juga berarti عَظَمَهُ وَوَقَّرَهُ وَأَعَانَهُ وَقَوَاهُ   yaitu membesarkan memperhatikan, membantu dan menguatkan (agama Allah). Sedangkan Al- Fayumi mengatakan bahwa ta’zir adalah pengajaran dan tidak termasuk dalam kelompok had.”[8]

Sedangkan secara terminologi ta'zir adalah hukuman yang bentuknya tidak ditentukan oleh al Qur'an dan Al- Hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah maupun hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa.
Ibnu Mandzur dalam kitabnya Lisan Al-‘Arab mengatakan bahwa ta’zir adalah hukuman termasuk had, mencegah perilaku tindak pidana dari melakukan kejahatan dan menghalanginya dari melakukan ma’siyat. Kata at- ta’zir arti dasarnya adalah pengajaran, maka hukuman ini berfungsi sebagai pengajaran. Arti lainnya adalah mencegah dan menghalangi.[9]

B.     Dasar Hukum Disyari’atkannya Ta’zir
Dasar disyari’atkannya ta’zir terdapat dalam beberapa hadits Nabi SAW, antara lain:
Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim
عَنْ بَهْزِابْنِ حَكِيْمِ عَنْ َابِيْهِ عَنْ جَدِّهِ, اَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم حَبَسَ فِي التُّهْمَةِ (رواه ابوداود والترمزى والنسائ والبيهقى وصحح الحلكم)
Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw. menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan. (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Nasa’i, dan Baihaqi serta dishahihkan oleh Hakim).[10]
 Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abi Burdah
عَنْ اَبِىْ بُرْدَةَ الْاَنْصَارِى رضي الله عنه انه سَمِعَ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يقول : لاَيُجْلَدُ فَوْقَ عَشْرَةِ اَسْوَاطٍ اِلاَّ فِيْ حَدٍّ مِنْ حُدُوْدِ اللهِ تعالى (متفق عليه)
Dari Abi Burdah Al-Anshari ra. Bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Tidak boleh dijilid di atas sepuluh cambuk kecuali di dalam hukuman yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala. (Muttafaq alaih).[11]
 Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah

وعن عائشة رضي الله عنها اَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قال : اَقِيْلُوْا ذَوِى الْهَيْئَاتِ عَثَرَا تِهِمْ اِلاَّ الْحُدُوْدَ (رواه احمد وابوداود والنسائ والبيهق)
Dari Aisyah ra. Bahwa Nabi saw. bersabda: “Ringankanlah hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan kejahatan atas perbuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimah hudud. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i dan Baihaqi)[12]


C. Macam- Macam Sanksi Ta’zir
1. Hukuman Ta’zir yang berkaitan dengan badan
a. Hukuman mati
Hukuman mati untuk jarimah ta’zir hanya dilaksanakan dalam jarimah-jarimah yang sangat berat dan berbahaya dengan syarat-syarat sebagai berikut : Bila pelaku merupakan seorang yang tidak mempan oleh hukuman-hukuman hudud selain hukuman mati.
Harus dipertimbangkan betul-betul dampak kemaslahatan terhadap masyarakat dan pencegahan terhadap kerusakan yang menyebar di muka bumi. Sebagian fuqaha syafi’iyah membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam kasus penyebaran aliran-aliran sesat dan juga kepada para pelaku homoseksual (liwath) tanpa membedakan antara muhsan dengan ghairu muhsan. Adapun Ulama Hanafiyah memberikan hukuman mati apabila jarimah tersebut dilakukan berulang-ulang. Sedangkan Ulama Malikiyah dan Hanabilah memberikan hukuman mati ini untuk jarimah-jarimah ta’zir tertentu, seperti spionase dan melakukan kerusakan di muka bumi.

b. Hukuman jilid (dera)
Alat yang digunakan untuk hukuman jilid ini adalah cambuk yang sedang ukurannya (tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil). Hali ini dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah dengan alasan bahwa sebaik-baiknya perkara adalah pertengahan.
Hukuman jilid tidak boleh sampai menimbulkan cacat dan membahayakan organ-organ tubuh orang yang terhukum. sebab tujuannya memberi pelajaran dan pendidikan kepadanya. Oleh karena itu cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji, dan kepala melainkan diarahkan ke punggung. Hal ini didasarkan kepada atsar sahabat Umar kepada eksekutor jilid.
إِيَّاكَ أَنْ تَضْرِبَ الرَّأْسَ وَالْفَرْجَ
“Hindarilah untuk memukul kepala dan farji”

2. Hukuman yang berkaitan dengan kemerdekaan
a. Hukuman penjara
Hukum penjara dalam Syariat Islam dibagi kepada dua bagian, yaitu :
Hukuman Penjara Terbatas adalah hukuman penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas . Hukuman penjara terbatas ini diterapkan untuk jarimah penghinaan, penjual khamar, pemakan riba, melanggar kehormatan bulan suci Ramadhan dengan berbuka pada siang hari tanpa udzur, mengairi lading dengan air dari saluran tetangga tanpa izin, caci mencaci antara dua orang yang berperkara di depan sidang, dan saksi palsu.
Hukuman Penjara Tidak Terbatas tidak dibatasi waktunya, melainkan berlangsung terus sampai orang yang terhukum itu mati atau sampai ia bertobat. Dalam istilah lain bisa disebut dengan hukuman penjara seunur hidup.Hukuman ini dikenakan kepada penjahat yang sangat berbahaya, misalnya seseorang yang menahan orang lain untuk dibunuh oleh orang ketiga.
b. Hukuman pengasingan
Hukuman pengasingan termasuk hukuman had yang diterapkan untuk tindak pidana hirabah (perampokan) . Namun dalam praktiknya, hukuman tersebut juga diterapkan sebagai hukuman ta’zir, yaitu dikenakan terhadap orang yang berprilaku mukhannast (waria), tindak pidana pemalsuan terhadap al-Qur’an dan pemalsuan stempel Baitul Mal. Hukuman pengasingan ini diberikan sebab dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain sehingga pelakunya harus dibuang. Adapun tempat pengasingannya diperselisihkan oleh para fuqaha, menurut Imam Malik bin Annas pengasingan dilakukan dari negeri Islam ke negeri bukan Islam. Menurut Umar bin Abdul Aziz dan Said bin Jubayyir pengasingan dari satu kota ke kota lain.

3. Hukuman Ta’zir yang berkaitan dengan harta
Hukuman ta’zir dengan mengambil harta itu bukan berarti mengambil harta si pelaku untuk diri hakim atau untuk kas negara, melainkan hanya menahannya untuk sementara waktu. Namun jika pelakunya tidak bisa diharapkan untuk bertobat maka hakim dapat men-tasruf- kan hartanya untuk kemaslahatan.
Imam Ibnu Taimiyah membagi hukum ta’zir berupa harta ini kepada tiga bagian, yaitu: :
a. Menghancurkan (
الإتلاف), penghancuran ini berlaku terhadap barang-barang dan perbuatan/sifat yang mungkar, seperti penghancuran patung milik orang Islam, penghancuran alat dan tempat minum khamr, dll.
b. Mengubah (التّغيير), mengubah harta pelaku antara lain seperti mengubah patung yang disembah oleh orang muslim dengan memotong bagian kepalanya sehingga mirip dengan pohon.
c. Memiliki (التّمليك), pemberian hukuman ini antara lain seperti keputusan Rasulallah melipatgandakan denda bagi seorang yang mencuri buah-buahan, di samping hukuman jilid dan juga keputusan khalifah Umar bin Khattab orang yang menggelapkan barang temuan. Selain denda hukuman ta’zir yang berupa harta adalah penyitaan atau perampasan harta.
4. Hukuman-hukuman Ta’zir yang Lain
a.       Peringatan keras
Peringatan keras dapat dilakukan di luar sidang pengadilan dengan mengutus seorang kepercayaan hakim yang menyampaikan kepada pelaku. Isi peringatan itu misalnya: “ Telah sampai kepadaku bahwa kamu melakukan kejahatan....Oleh karena itu jangan kau lakukan lagi.”. Hal itu dilakukan karena hakim menganggap bahwa perbuatan yang di lakukan pelaku tidak terlalu berbahaya.
b.      Dihadirkan di hadapan sidang
Pelaku dihadirkan di hadapan sidang apabila membandel atau perbuatannya cukup membahayakan. Di hadapan sidang ia juga diberi peringatan keras namun kali ini diucapkan. langsung oleh hakim. Bagi orang tertentu hukuman seperti ini sudah cukup, karena sebagian orang ada yang merasa takut dan gemetar dalam menghadapi meja hijau. Hukuman ini diberikan terhadap pelaku tindak pidana ringan yang dilakukan pertama kalinya.
c. Nasihat
Ibnu Abidin yang dikutip oleh Abdul Aziz Amir mengemukakan bahwa yang dimaksud nasihat adalah mengingatkan pelaku apabila ia lupa dan mengajarinya apabila ia tidak mengerti. Sama seperti dua hukum sebelumnya, hukum nasihat ini juga diterapkan bagi pelaku-pelaku pemula yang melakukan tindak pidana, bukan karena kebiasaan melainkan karena kelalaian.
d. Celaan (taubikh)
Imam al-Mawardi mengemukakan bahwa taubikh ini bisa dilakukan oleh hakim dengan memalingkan muka dari hadapan terdakwa yang menunjukan ketidaksenangannya, atau memandangnya dengan muka yang masam dan senyuman sinis. Pada intinya celaan ini bisa dilakukan oleh hakim dengan berbagai cara dan berbagai perkataanyang dikehendakinya yabg diperkirakan dapat mencegah pelaku dari tindakan pidana yang pernah dilakukannya.
e. Pengucilan
Yang dimaksud dengan pengucilan adalah melarang pelaku untuk berhubungan dengan orang lain dan sebaliknya melarang masyarakat berhubungan dengannya. Hukuman ini mungkin bisa lebih efektif jika pengucilan itu dilakukan dalam bentuk tidak diikutsertakannya pelaku dalam kegiatan kemasyarakatan.
f. Pemecatan (al-‘azl)
Hukuman ta’zir berupa pemberhentian dari pekerjaan atau jabatan diterapkan kepada setiap pegawai yang melakukan jarimah, baik yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatannyamaupun dengan hal-hal lainnya. Contohnya : Pegawai yang mnerima suap, korupsi, nepotisme, zalim terhadap bawahan atau rakyat, prajurit yang kabur dalam pertempuran dan hakim yang memutuskan perkara tanpa dasar hukum yang telah ditetapkan.
g, Pengumuman kesalahan secara terbuka (at-tasyhir)
Dalam buku as-Sindi dari Jami’ al-‘Itabi yang dikutip oleh Abdul Aziz Amir, tasyhir dilakukan dengan mengarak pelaku ke seluruh negeri dan di setiap tempat selalu diumumkan kesalahan/tindak pidana yang telah ia lakukan. Jarimah-jarimah yang bisa dikenakan hukuman tasyhir antara lain: Saksi palsu, pencurian, kerusakan akhlak, kesewenang-wenangan hakim dan menjual barang-barang yang diharamkan seperti bangkai dan babi. Penerapan tasyhir tidak dimaksudkan untuk menyebarluaskan kejahatan dan kejelekan pelaku, melainkan untuk mengobati mentalnya agar ia berubah menjadi orang yang lebih baik dan tidak mengulangi perbuatannya atau bahkan melakukan kejahatan yang baru. [13]


HIKMAH DIADAKANNYA HUKUMAN DALAM ISLAM

Dilaksanakan hukuman khususnya Qishash dan ta’zir banyak mengandung hikmah dan manfaat bagi kehidupan manusia. Di dalam Al-Quran ditegaskan:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاأُوْلِي اْلأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ  البقرة/2: 179
Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (QS Al-Baqarah: 179)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa dalam pensyari’atan qishash, yaitu hukuman mati bagi si pembunuh terdapat hikmah yang sangat besar, yaitu kelangsungan hidup dan perlindungan. Karena jika si pembunuh mengetahui bahwa ia akan diqishash maka ia akan menahan diri, yaitu menahan diri untuk tidak membunuh. Allah Ta’ala telah menetapkan jaminan kelangsungan hidup dalam qishash. Ada ungkapan yang mengatakan:
اَلْقَتْلُ اَنْفَى لِلْقَتْلِ
 “Hukuman mati itu lebih tepat untuk memberantas pembunuhan” [14]
Di antara hikmah-hikmah qishash yang lain adalah:
1.   Memberikan penghargaan tinggi terhadap status dan martabat manusia
2.   Memberikan pelajaran kepada manusia untuk tidak melakukan kejahatan, ataupun mempermainkan nyawa manusia.
3.   Dengan adanya hukum qishash maka manusia akan merasa takut berbuat jahat pada orang lain, terutama penganiayaan tubuh dan jiwa manusia. Sebab jika hal ini dilakukannya, pasti hukuman akan diberikan kepadanya.
4.   Memberikan perlindungan atas hak hidup
5.   Hukum qishash dapat melindungi jiwa dan raga manusia.
6.   Timbulnya ketertiban, keamanan dan kedamaian dalam masyarakat, sebagai bukti dari janji Allah dalam QS Al-Baqarah: 179.
7.   Menunjukkan bahwa syariat Islam itu luwes dalam menangani masalah. Seoalah-lah hukum qishash itu kejam, tetapi apabila dikaji lagi justru dengan diberlakukannya qishash maka keadilan dapat ditegakkan dengan merata.
         Sedangkan konsep keadilan secara umum memiliki hikmah yang cukup dalam dan luas. Apabila dicermati dan dianalisis, bahwa apa yang ditetapkan Allah swt. betul-betul punya makna dan hikmah, apalagi jika perintah tersebut diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh semua komponen masyarakat. Konsep keadilan merupakan sesuatu yang tidak hanya menjadi sebuah konsep atau wacana yang ideal, tetapi betul-betul harus dibumikan dalam kehidupan sehari-hari bagi manusia.
Secara    garis besar  dapat ditarik   hikmah     atau  manfaat    dari implementasi keadilan, antara lain:
a.  Mengharmoniskan hubungan di antara warga masyarakat.
b.  Memperkuat persaudaraan dan memperkokoh  persatuan  umat dan masyarakat.
c. Menjauhkan  masyarakat   dari   sifat-sifat   diskriminatif   yang   dapat   menimbulkan konflik internal dan eksternal dalam masyarakat.
d.  Menjadi arah dan cita-cita sebuah masyarakat dan bangsa.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghaffar EM, M, Tafsir Ibnu Katsir (terjemahan), Jilid 1.3, Pustaka Imam Asy- Syafi’i, Jakarta, Cetakan ke 4, 2005
Abubakar Muhammad, H, Drs, Terjemahan Subulussalam Jilid IV, Al- Ikhlas, Surabaya, Cetakan ke 1, 1995
Ambo Asse, Prof. DR. Konsep Adil Dalam Al- Qur’an, Arrisalah, Volume 10, No. 2, Nopember 2010
Djazuli, HA, Prof, Drs, Fiqih Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan Pertama, 1996
Nurul Irfan, HM, DR, M.Ag, dan Masyrofah, S.Ag, M.Si, Fiqh Jinayah, Amzah, Jakarta, Cetakan pertama, 2013
Quraish Shihab,  Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu ’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung,, 1998
Sayyid Sabiq, Fikih Islam, Jilid 10, Terjemahan, PT. Al- Ma’arif, Bandung, 1990
Sulaiman Rasyid, H, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung, Cetakan ke 45, 2010


[1] Ambo Asse,  Konsep Adil Dalam Al- Qur’an, Arrisalah, Volume 10, No. 2, Nopember 2010, hal. 275- 276

[2] Quraish Shihab,M,  Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu ’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung,, 1998, hal. 111

[3]Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Bab I pasal 1

[4] Nurul Irfan, HM, dan Masyrofah,  Fiqh Jinayah, (Amzah, Jakarta, Cetakan pertama, 2013), hal. 4

 [5] Sulaiman Rasyid, H, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung, Cetakan ke 45, 2010, hal. 431- 432
 [6] Djazuli, HA, Prof, Drs, Fiqih Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan Pertama, 1996,  hal. 150
 [7] Sayyid Sabiq, Fikih Islam, Jilid 10, Terjemahan, PT. Al- Ma’arif, Bandung, 1990, hal. 58

[8] Nurul Irfan, HM, dan Masyrofah,  opcit,  hal. 136
 [9] Ibid, hal. 138
[10] Ibid, hal. 140
[11] Abubakar Muhammad, Terjemahan Subulussalam Jilid IV, Al- Ikhlas, Surabaya, Cetakan ke 1, 1995, hal. 154
[12] Ibid, hal. 157
[13] Djazuli, HA, Prof, Drs, opcit, hal. 188- 218
[14] Abdul Ghaffar EM, M, Tafsir Ibnu Katsir (terjemahan), Jilid 1.3, (Pustaka Imam Asy- Syafi’i, Jakarta, Cetakan ke 4, 2005), hal. 55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar