PENDAHULUAN
Agama Islam sangat menekankan
prinsip keadilan dalam kehidupan, baik kehidupan individu maupun masyarakat. Keadilan adalah
ajaran yang dapat menjamin terwujudnya ketertiban dan kedamaian dalam
masyarakat. Islam memberikan jaminan bahwa keadilan yang sempurna dapat dicapai
dengan menegakkan hukum Allah swt. dan hukum-hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. secara
konsisten dan konsekwen tanpa
memperturutkan kehendak atau
keinginannya hawa nafsu.
Dalam makalah ini akan diuraikan salah satu ajaran Islam yang dalam
penegakannya merupakan perwujudan keadilan, yaitu tentang hukuman Qishash dan
Ta’zir. Qishash adalah hukuman yang diberikan kepada orang yang membunuh dengan
sengaja atau bagi orang yang merusak/ menghilangkan bagian anggota tubuh
manusia. Sedangkan Ta’zir meskipun Islam tidak menentuan bentuk hukumannya,
tetapi Islam memberikan pedoman tentang substansi dan implementasi hukumannya,
sehingga tidak ada pihak yang dirugikan didzalimi. Penetapan hukuman ta’zir
berlandaskan Qur’an dan Hadits, tetapi bentuk dan pelaksanaannya diserahkan
kepada proses ijtihad yang intensif berdasarkan kaidah- kaidah dan norma
keadilan.
Qishash dan Ta’zir ini bukan hukuman balasan, apalagi hukuman balas
dendam, tetapi hukuman yang seimbang yang diberikan kepada orang- orang yang
berbuat kejahatan. Sehingga dengan diberlakukannya hukuman tersebut dapat
memberikan pelajaran yang positif bagi manusia.
Qishash dan Ta’zir dapat memberikan gambaran, bahwa betapakan Islam
menetapkan hukuman kepada manusia dengan seadil- adilnya, sehingga kedamaian
dan ketentraman dapat diwujudkan dalam masyarakat. Di satu sisi jiwa dan raga
manusia mendapatkan jaminan perlindungan dan di sisi lain manusia tidak semena-
mena melakukan tindakan kejahatan terhadap jiwa dan raga orang lain.
ARTI DAN LANDASAN BERBUAT ADIL
A.
Pengertian Keadilan
Kata keadilan
dalam bahasa Indonesia berasal dari kata adil yang mendapat imbuhan
awalan dan akhiran,
berasal dari bahasa Arab, yakni: عدل yang bermakna: seimbang,
harmonis, lurus, istiqamah, tegak,
kembali, dan lain-lain. Adil dapat pula diartikan dengan memberikan sesuatu kepada seseorang yang
menjadi haknya.
Oleh Ibrahim Mustafa menyebutkan
dalam kitab Mu’jamnya “mengambil dari
mereka sesuatu yang
menjadi kewajibannya”. Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa
kata adil diartikan dengan 1).Tidak
memihak/tidak berat sebelah, 2).
Berpihak kepada kebenaran, 3). Sepatutnya/tidak sewenang-wenang.[1]
M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa
kata adil pada awalnya diartikan dengan sama atau persamaan, itulah yang
menjadikan pelakunya tidak memihak
atau berpihak pada
yang benar. Makna ini
menunjukkan bahwa keadilan itu
melibatkan beberapa pihak, yang terkadan saling berhadapan, yakni: dua atau
lebih, masing-masing pihak
mempunyai hak yang patut memperolehnya, demikian sebaliknya
masing-masing pihak mempunyai
kewajiban yang harus ditunaikan. Alquran menggunakan beberapa lafaz yang
bermakna adil yang dipakai dalam
kontes kalimat yang berbeda, yakni: lafaz
قسط ـ عدل ـ
ميزان yang bermakna perintah Allah kepada manusia
untuk berlaku adil.
Kata adil dalam Alquran berulang 28 kali dengan bermacam-macam bentuk. Dari semua kata adil tersebut, M.
Quraish Shihab mengemukakan bahwa paling tidak ada empat makna keadilan yang
dikemukakan oleh pakar agama, yaitu:
1). Adil dalam arti
sama,
2) Adil dalam arti seimbang,
3). Adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu
4). Adil yang dinisbatkan kepada Ilahi.[2]
Adil sering pula diartikan وَضْعُ
الشَّيْئِ فِى مَحَلِّهِ
(menempatkan sesuatu pada tempatnya). Adil dengan arti ini menunjukkan bahwa
makna adil itu sangat luas, tidak hanya terbatas pada aspek hukum semata,
tetapi berbagai aspek kehidupan manusia sehari- hari, baik kehidupan pribadi
maupun masyarakat. Penulis menganggap bahwa adil dalam arti ini merupakan
pengertian adil yang paling luas.
Dalam konteks huku adil dapat
diartikan: 1) Berpihak kepada kebenaran, 2). Sepatutnya/tidak sewenang-wenang 3) memberikan hak setiap
yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak,
dalam keadaan yang sama dan menghukum orang salah atau yang melanggar hukum
sesuai dengan kesalahan dan pelanggarannya.
B.
Landasan Berbuat Adil
Agama Islam sangat menekankan prinsip keadilan dalam
kehidupan. Allah SWT berfirman:
rtinya:
sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu, agar kamu dapat
mengambil pelajaran. (QS. Nahl: 90)
Dalam ayat di atas Allah SWT memulai
perintahNya dengan menyebutkan salah satu nama-Nya yang paling agung yaitu
lafzul jalalah; ALLAH. Hal ini mengindikasikan bahwa perintah ini sangat penting
dan prinsif. Perintah berbuat adil sebagaimana ayat di atas tidak dibatasi pada
aspek- aspek tertentu, melainkan pada seluruh aspek kehidupan manusia.
Keadilan adalah prasyarat dari
ketaqwaan. Tak ada seorang pun yang benar-benar takut kepada Allah tanpa
berlaku adil. Seorang baru bisa dikatakan memiliki keyakinan kuat jika memiliki
perilaku adil dalam hidupnya terhadap Allah dan sesama manusia. Hal ini
sebagaimana tergambar dalam firman Allah SWT berikut:
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah: 8)
Dalam
ayat lain ditegaskan:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah
kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah,
biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang
kamu kerjakan. (QS. An-Nisa: 135)
Kedua ayat diatas dengan jelas
memanggil orang-orang yang beriman agar berbuat adil. Kata al-Adl adalah kata
Tauhid, karena salah satu nama Allah adalah al-Adl. dan orang- orang yang
beriman diperintahkan untuk breakhlak seperti sifat-sifat Allah yaitu berlaku
adil. Adil terhadap diri sendiri, ayah dan ibu, kaum kerabat maupun adil
terhadap siapapun orangnya.
Dalam konteks hukum, Allah SWT
memerintahkan agar mengadili manusia secara adil. Firman Allah SWT:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum
di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat.(QS. An- Nisa: 58)
Perintah
menetapkan hukum dengan adil di antara manusia adalah merupakan refleksi
bagaimana Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin memberikan tuntunan kepada
manusia, bahwa untuk mewujudkan kehidupan yang damai dan tentram adalah apabila
keadilan sudah ditegakkan dalam sendi- sendi kehidupan manusia. Secara kontekstual
tidak hanya ditujukan kepada kelompok sosial tertentu dalam masyarakat
melainkan kepada setiap orang yang memiliki kekuasaan, kewenangan maupun
tanggung jawab mengurus atau memimpin orang lain.
Bentuk keadilan
yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sangat banyak ragamnya, antara
lain:
a.
Adil terhadap
diri sendiri
b.
Adil dalam
rumah tangga
c.
Adil dalam
bermasyarakat
d.
Adil dalam
berekonomi
e.
Adil dalam
pemerintahan
f.
Adil dalam
peradilan
g.
Adil dalam
perwalian/ pengasuhan
h.
Adil dalam
kesaksian
i.
Adil terhadap
musuh
LANDASAN PEMIKIRAN HUKUM DALAM ISLAM
Hukum adalah seperangkat ketentuan yang berisikan aturan yang
mengikat kepada manusia. Untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang damai,
tentram dan harmonis, maka harus ada aturan yang mengikat yang harus ditaati
oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga dapat mewujudkan kehidupan masyarakat
sesuai dengan yang dicita- citakan. Dalam setiap aturan tersebut ada kewajiban
yang harus ditunaikan dan ada hak yang harus didapatkan. Bagi setiap
pelanggaran terhadap kewajiban dan pelanggaran terhadap hak orang lain, maka
akan mendapatkan konsekuensi atas perbuatannya, yaitu mendapatkan sangsi atau
hukuman sesuai dengan tingkat kejahatannya
Setiap orang memiliki hak pribadi
yang bersifat asasi, yakni:
hak hidup, hak memiliki harta, hak mendapatkan kehormatan, hak kebebasan, kemerdekaan dan
persamaan, hak memperoleh
pendidikan dan pengajaran.
Setiap hak harus diserahkan kepada pemiliknya agar kewajiban terlaksana
dengan baik dan sempurna,
sehingga tegaklah keadilan dalam kehidupannya, yang merupakan salah satu sendi
kehidupan bermasyarakat disamping berbuat kebajikan.
Maka kemudian muncul konsep aturan Hak Asasi Manusia (HAM), yang
intinya berisikan aturan tentang penegakkan keadilan berdasarkan nilai- nilai
kemanusiaan. Konsep
ini menegaskan bahwa setiap orang punya hak individu dalam masyarakat yang harus mendapat perlindungan dan
perlakuan hukum secara
adil.
Hak
Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.[3]
Akan tetapi pada tataran aplikasinya, konsep
HAM ini memunculkan beragam aturan yang sangat ditentukan oleh situasi dan
kondisi dimana masyarakatnya berada, sehingga konsep HAM ini bersifat parsial
dan konditional. Hal ini dikarenakan konsep keadilan dalam perspektif HAM adalah konsep
keadilan yang sekuler, yang semata- mata berlandaskan kepada pemikiran manusia
dan secara konten tidak mengaitkan dengan ajaran suatu agama.
Agama Islam memberikan aturan keadilan secara paripurna dalam
seluruh aspek kehidupan manusia. Landasan konstruksinya adalah Al- Qur’an dan
Al- Hadits serta dilengkapi dengan ijtihad (istinbat hukum). Islam memberikan
jaminan bahwa keadilan yang sempurna dapat dicapai dengan menegakkan hukum
Allah swt. dan hukum-hukum
yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. secara konsisten
dan konsekwen tanpa memperturutkan kehendak atau
keinginannya sendiri.
Allah SWT berfirman
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut
apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling
(dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya
Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian
dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang
fasik.” (QS. Al- Maidah: 49)
Meski otoritas keadilan hukum Islam itu
berasal dari Allah, tetapi dalam pelaksanaannya ditetapkan di pengadilan,
sehingga dalam memutuskannya didasarkan
dengan pembuktian dan kesaksian yang adil.
Allah
SWT berfirman4
“dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (QS. At- Thalaq: 2).
TINDAKAN YANG BERSANGSIKAN QISHASH
A.
Pengertian Qishash
Qishash berasal dari kata قَصَصَ yang artinya memotong atau bersal
dari kata اِقْتَصَّ
yang artinya
mengikuti,menelusuri jejak atau langkah.[4]
Qishash adalah hukuman balasan yang seimbang
bagi pelaku pembunuhan maupun pengrusakan anggota badan seseorang yang dilakukan dengan sengaja.
Yang dimaksud
balasan hukuman yang seimbang adalah apabila seseorang membunuh dengan sengaja,
maka hukumannya di bunuh pula. Apabila merusak atau menghilangkan anggota badan
orang lain dengan sengaja atau aniaya, maka balasannya diberikan seperti pelaku
berbuat pada korbannya. Misalnya jika seseorang memotong telinga orang lain
dengan sengaja dan aniaya, maka ia harus dipotong pula telinganya.
Pelaksanaan hukum qishash diserahkan kepada
hakim, agar mendapatkan hasil putusan yang seadil-adilnya dan tidak boleh
dihakimi sendiri. Kecuali kalau dimaafkan oleh korban atau oleh anggota
keluarga yang terbunuh, maka qishash tidak dilaksanakan dan diganti dengan
diyat.
B. Dasar Hukum Qishash
Membunuh dengan sengaja hukumnya haram, dan pelakunya selain di dunia harus dijatuhi
hukuman, kelak di akhirat mendapat siksa yang pedih.
Dasar hukum dilaksanakannya qishash telah ditegaskan baik di dalam Al-Quran
maupun Hadits. Allah SWT. berfirman:
Hai
orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu (hukum) qishash untuk membela
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka diqishash sebab membunuh orang merdeka;
hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Tetapi barangsiapa yang mendapat
sebagian keampunan dari saudaranya (ahl waris yang terbunuh) maka hendaklah ia
membalas kebaikan itu dengan cara yang baik. Dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang
tersebut itu ialah suatu keringanan dan rahmat Tuhanmua. (QS Al-Baqarah [2]: 178)
Selain itu
membunuh termasuk dosa besar yang tak diampuni oleh Allah SWT. Nabi SAW.
bersabda:
كُلُّ
ذَنْبٍ عَسَى اللهُ اَنْ يَغْفِرَهُ اِلاَّ الرَّجُلَ يَمُوْتُ مُشْرِكًا
اَوِالرَّجُلَ يَقْتُلُ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا (رواه ابو داود وابن حبان)
“Setiap dosa ada harapan Allah
akan mengampuninya, kecuali seorang laki-laki yang mati dalam keadaan syirik
atau seseorang membunuh seorang mukmin dengan dengaja.” (HR Abu Dawud, Ibnu
Hibban dan Hakim)
Sedangkan dalam hadis yang diriwayatkan dari
Ibnu Umar r.a., Nabi SAW bersabda:
لَزَوَالُ
الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ (رواه مسلم والنسائى
والترميذى)
“Sesungguhnya lenyapnya dunia akan lebih mudah bagi Allah dari pada
(hilangnya dosa) seseorang yang membunuh orang Islam.” (HR Muslim Nasa’i dan Tirmudzi)
Adapun balasan
yang setimpal di akhirat nanti adalah masuk neraka. Firman Allah SWT.:
Dan barangsiapa yang membunuh
seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka jahannam, kekal ia
didalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan adzab
yang besar baginya. (QS Al-Nisa’
[4]: 93)
C. Syarat-syarat Qishash
Hukuman qishash
wajib dilaksanakan apabila memenuhi syarat-syarat sebagaimana di bawah ini:
1. Pembunuh
sudah baligh dan berakal sehat. Maka anak-anak dan orang gila tidak dikenakan
hukum qishash.
Rasulullah SAW. bersabda:
عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّغِيْرِ
حَتَّى يَكْبَرَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيْقَ (رواه ابن
ماجه واحمد وابو داود)
Artinya:
Dari
Aisyah, Nabi SAW. bersabda: “Diangkat hukum (tidak terkena hukuman) dari tiga
perkara: orang tidur hingga ia bangun, anak-anak hingga ia dewasa dan orang
gila hingga ia sembuh dari gila.” (HR Ahmad dan Abu Dawud)
2. Pembunuh
bukan orang tua dari orang yang dibunuh. Jika orang tua membunuh anak, maka
tidak wajib dilaksanakan qishash. Tetapi jika anak membunuh orang tua, maka
wajib dilaksanakan qishash. Rasulullah SAW. bersabda:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقِصُّ اْلاَبَ مِنِ ابْنِهِ وَلاَ يُقِصُّ اْلاِبْنِ مِنْ اَبِيْهِ (رواه النرميذر)
Dari
Umar bin Khattab ra. diterangkan: Aku pernah mendengar Rasulullah SAW.: “Tidak
boleh orang tua diqishash sebab (membunuh) anaknya.” (HR Tirmidzi)
3. Jenis pembunuhan adalah pembunuhan yang disengaja. Pembunuh
yang mirip disengaja maupun pembunuhan yang tidak disengaja tidak
ada hukum qishash.
4. Orang yang terbunuh terpelihara darahnya, artinya
bukan orang jahat. Orang yang membunuh karena membela diri, meskipun
pembunuhannya disengaja, tidak ada hukum qishash atasnya. Juga orang mukmin
yang membunuh orang kafir, orang murtad dan pezina muhshan tidak ada qishash
atasnya.
Nabi
SAW. bersabda:
لاَ يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ (رواه
البخارى)
“Orang Islam tidak dibunuh karena membunuh orang kafir.” (HR Bukhari)
5. Orang yang dibunuh sama derajatnya, misalnya orang Islam dengan
orang Islam, merdeka dengan merdeka, perempuan dengan perempuan dan budak
dengan budak.
Allah SWT. berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh: orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita.” (QS Al-Baqarah (2): 178)
6. Qishash dilakukan dalam hal yang
sama: jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, telinga dengan telinga dan lain-lain.
Jadi, hukuman yang diberikan pada pelaku harus seimbang dengan apa yang
dilakukannya, sehingga akan tegak keadilan.[5]
Hukuman qishash dapat terhapus
karena hal- hal sebagai berikut:
1. Hilangnya
tempat untuk diqishash
2. Pemaafan
3. Peerdamaian
4. Diwariskan
hak qishash.[6]
D. Pembunuhan Oleh Massa
Pembunuhan disengaja yang dilakukan oleh
sekelompok orang (lebih dari satu), maka semuanya harus diqishash. Baik itu
orang yang langsung membunuh korban, orang yang menyediakan alat untuk
membunuh, orang yang membiayai, orang yang membantu dengan pikirannya dan
lain-lain, semuanya diqishash. Dalam suatu riwayat diterangkan:
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ
الْمُسَيَّبِ اَنَّ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَتَلَ خَمْسَةً اَوْ سِتَّةً
قَتَلُوْا رَجُلاً غِيْلَةً بِمَوْضِعٍ خَالٍ وَقَالَ لَوْ تَمَاَلأَ عَلَيْهِ
اَهْلُ صُنْعَاءَ لَقَتَلْتُهُمْ بِهِ جَمِيْعًا (رواه الشافعى)
Dari Said bin Musayyab, bahwa Umar
RA. telah menghukum bunuh lima atau enam orang yang telah membunuh seorang
laki-laki secara tipuan di tempat sunyi. Kemudian ia berkata: “Andaikata semua
penduduk Sun’a secara bersama-sama membunuhnya, niscaya akan aku bunuh mereka
semuanya.” (HR Syafi’i)
Ali bin Abi Thalib pernah mengqishash 3 orang
yang bekerja sama membunuh seseorang. Bahkan Mughirah pernah mengqishash 7
orang yang bersekongkol melakukan pembunuhan. Ibnu Abbas berpendapat: “Kalau
sekelompok orang membunuh seorang, mereka harus dibunuh meskipun jumlahnya 100
orang dengan cara sama.” Imam Malik berkata: “Menurut kami semua lelaki merdeka
yang bersekongkol membunuh seorang lelaki merdeka terkena hukuman qishash, jika
pembunuhan tersebut disengaja. Demikian pula wanita-wanita yang bersekongkol
membunuh wanita, semuanya harus diqishash. Semua hamba sahaya yang membunuh
hamba, maka semuanya mendapatkan qishash.”[7]
Adanya qishash
bagi pembunuh lebih dari satu sebagaimana diuraikan di atas memang telah
menjadi kesepakatan. Akan tetapi ketika seseorang menangkap seorang laki-laki
lain, kemudian ada orang lain yang membunuhnya, sedangkan lelaki yang
dibunuhnya itu tidak mungkin dapat dibunuhnya tanpa ditangkap terlebih dahulu,
maka dalam kasus ini terdapat perbedaan pendapat. Imam Malik, Al-Laits, dan
Al-Nakha’i berpendapat bahwa orang yang menangkap dan membunuhnya harus dibunuh
lagi, sebab termasuk berserikat. Sedangkan Imam Syafi’i dan Hambali menyatakan
bahwa pembunuhnya harus diqishash, dan orang yang menangkapnya cukup dipenjarakan
sampai mati. Pendapat tersebut didasarkan pada sebuah hadits riwayat Ibnu Umar,
bahwa Nabi SAW bersabda: “Jika ada seorang laki-laki menangkap lelaki lain
dan orang ketiga membunuhnya, maka yang membunuh harus dibunuh, dan yang
menangkap harus dipenjarakan.” (HR Daruquthni)
E. Qishash Anggota Tubuh
Seperti dijelaskan dalam pengertian qishash,
bahwa qishash itu adalah hukuman yang seimbang terhadap pelaku kejahatan
terhadap badan dan jiwa manusia.
Allah SWT. berfirman:
Dan Kami telah
tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas)
dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi, dan lukapun ada qishashnya.” (QS Al-Maidah [5]: 45)
Tentang luka-luka yang harus diqishash memang
dilihat dulu lukanya. Jika lukanya ringan maka tidak ada qishash, tetapi jika
luka berat maka ada qishashnya.
TINDAKAN YANG BERSANGSIKAN TA’ZIR
A. Pengertian Ta’zir
“Ta’zir adalah bentuk masdar dari kata عَزَرَ
ـ يَعْزِرُ yang secara etimologi berarti اَلرَّ ُّد وَالْمَنْعُ yaitu menolak dan mencegah. Kata ini juga
memiliki arti نَصَرَهُ menolong atau menguatkan. Allah SWT berfirman
“Supaya kamu sekalian beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. dan
bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang” (QS. Al- Fath: 9)
Kata ta’zir dalam ayat di atas juga berarti عَظَمَهُ وَوَقَّرَهُ وَأَعَانَهُ وَقَوَاهُ yaitu membesarkan memperhatikan, membantu dan
menguatkan (agama Allah). Sedangkan Al- Fayumi mengatakan bahwa ta’zir adalah
pengajaran dan tidak termasuk dalam kelompok had.”[8]
Sedangkan secara terminologi ta'zir adalah hukuman yang bentuknya tidak
ditentukan oleh al Qur'an dan Al- Hadits yang
berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah maupun hak
hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya
untuk tidak mengulangi kejahatan serupa.
Ibnu Mandzur dalam kitabnya Lisan Al-‘Arab
mengatakan bahwa ta’zir adalah hukuman termasuk had, mencegah perilaku tindak
pidana dari melakukan kejahatan dan menghalanginya dari melakukan ma’siyat.
Kata at- ta’zir arti dasarnya adalah pengajaran, maka hukuman ini berfungsi
sebagai pengajaran. Arti lainnya adalah mencegah dan menghalangi.[9]
B. Dasar Hukum Disyari’atkannya Ta’zir
Dasar disyari’atkannya ta’zir terdapat dalam
beberapa hadits Nabi SAW, antara lain:
Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim
عَنْ بَهْزِابْنِ حَكِيْمِ عَنْ َابِيْهِ
عَنْ جَدِّهِ, اَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم حَبَسَ فِي التُّهْمَةِ (رواه
ابوداود والترمزى والنسائ والبيهقى وصحح الحلكم)
Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw.
menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan. (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Nasa’i, dan Baihaqi serta dishahihkan
oleh Hakim).[10]
Hadis Nabi yang diriwayatkan
oleh Abi Burdah
عَنْ اَبِىْ بُرْدَةَ الْاَنْصَارِى رضي
الله عنه انه سَمِعَ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يقول : لاَيُجْلَدُ فَوْقَ عَشْرَةِ
اَسْوَاطٍ اِلاَّ فِيْ حَدٍّ مِنْ حُدُوْدِ اللهِ تعالى (متفق عليه)
Dari Abi Burdah Al-Anshari ra. Bahwa ia mendengar Rasulullah saw.
bersabda: “Tidak boleh dijilid di atas sepuluh cambuk kecuali di dalam hukuman
yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala.
(Muttafaq alaih).[11]
Hadis Nabi yang diriwayatkan
oleh Aisyah
وعن عائشة رضي الله عنها اَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قال : اَقِيْلُوْا ذَوِى الْهَيْئَاتِ عَثَرَا تِهِمْ اِلاَّ الْحُدُوْدَ (رواه احمد وابوداود والنسائ والبيهق)
Dari Aisyah ra. Bahwa Nabi saw. bersabda: “Ringankanlah hukuman bagi
orang-orang yang tidak pernah melakukan kejahatan atas perbuatan mereka,
kecuali dalam jarimah-jarimah hudud.
(Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i dan Baihaqi)[12]
C. Macam- Macam Sanksi Ta’zir
1. Hukuman Ta’zir yang berkaitan dengan badan
a. Hukuman mati
Hukuman mati untuk jarimah ta’zir hanya
dilaksanakan dalam jarimah-jarimah yang sangat berat dan berbahaya dengan
syarat-syarat sebagai berikut : Bila pelaku merupakan seorang yang tidak mempan
oleh hukuman-hukuman hudud selain hukuman mati.
Harus dipertimbangkan betul-betul dampak kemaslahatan terhadap
masyarakat dan pencegahan terhadap kerusakan yang menyebar di muka bumi. Sebagian fuqaha syafi’iyah
membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam kasus penyebaran aliran-aliran
sesat dan juga kepada para pelaku homoseksual (liwath) tanpa membedakan antara
muhsan dengan ghairu muhsan. Adapun
Ulama Hanafiyah memberikan hukuman mati apabila jarimah tersebut dilakukan
berulang-ulang. Sedangkan Ulama Malikiyah dan Hanabilah memberikan hukuman mati
ini untuk jarimah-jarimah ta’zir tertentu, seperti spionase dan melakukan
kerusakan di muka bumi.
b. Hukuman
jilid (dera)
Alat yang digunakan untuk hukuman jilid ini adalah cambuk yang
sedang ukurannya (tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil). Hali ini
dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah dengan alasan bahwa sebaik-baiknya perkara
adalah pertengahan.
Hukuman jilid tidak boleh sampai menimbulkan cacat dan membahayakan
organ-organ tubuh orang yang terhukum. sebab tujuannya memberi pelajaran dan
pendidikan kepadanya. Oleh karena itu cambukan tidak boleh diarahkan ke muka,
farji, dan kepala melainkan diarahkan ke punggung. Hal ini didasarkan kepada
atsar sahabat Umar kepada eksekutor jilid.
إِيَّاكَ أَنْ تَضْرِبَ الرَّأْسَ وَالْفَرْجَ
“Hindarilah untuk memukul kepala dan farji”
2. Hukuman yang berkaitan dengan kemerdekaan
a. Hukuman penjara
Hukum penjara dalam Syariat Islam dibagi
kepada dua bagian, yaitu :
Hukuman Penjara Terbatas adalah hukuman penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas . Hukuman penjara terbatas ini diterapkan untuk jarimah penghinaan, penjual khamar, pemakan riba, melanggar kehormatan bulan suci Ramadhan dengan berbuka pada siang hari tanpa udzur, mengairi lading dengan air dari saluran tetangga tanpa izin, caci mencaci antara dua orang yang berperkara di depan sidang, dan saksi palsu.
Hukuman Penjara Terbatas adalah hukuman penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas . Hukuman penjara terbatas ini diterapkan untuk jarimah penghinaan, penjual khamar, pemakan riba, melanggar kehormatan bulan suci Ramadhan dengan berbuka pada siang hari tanpa udzur, mengairi lading dengan air dari saluran tetangga tanpa izin, caci mencaci antara dua orang yang berperkara di depan sidang, dan saksi palsu.
Hukuman Penjara Tidak Terbatas tidak dibatasi waktunya, melainkan
berlangsung terus sampai orang yang terhukum itu mati atau sampai ia bertobat.
Dalam istilah lain bisa disebut dengan hukuman penjara seunur hidup.Hukuman ini
dikenakan kepada penjahat yang sangat berbahaya, misalnya seseorang yang
menahan orang lain untuk dibunuh oleh orang ketiga.
b. Hukuman
pengasingan
Hukuman pengasingan termasuk hukuman had yang diterapkan untuk
tindak pidana hirabah (perampokan) . Namun dalam praktiknya, hukuman tersebut
juga diterapkan sebagai hukuman ta’zir, yaitu dikenakan terhadap orang yang
berprilaku mukhannast (waria), tindak pidana pemalsuan terhadap al-Qur’an dan
pemalsuan stempel Baitul Mal. Hukuman pengasingan ini diberikan sebab
dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain sehingga pelakunya harus dibuang.
Adapun tempat pengasingannya diperselisihkan oleh para fuqaha, menurut Imam
Malik bin Annas pengasingan dilakukan dari negeri Islam ke negeri bukan Islam.
Menurut Umar bin Abdul Aziz dan Said bin Jubayyir pengasingan dari satu kota ke
kota lain.
3. Hukuman Ta’zir yang berkaitan dengan harta
Hukuman ta’zir dengan mengambil harta itu bukan berarti mengambil
harta si pelaku untuk diri hakim atau untuk kas negara, melainkan hanya
menahannya untuk sementara waktu. Namun jika pelakunya tidak bisa diharapkan
untuk bertobat maka hakim dapat men-tasruf- kan hartanya untuk kemaslahatan.
Imam Ibnu Taimiyah membagi hukum ta’zir berupa
harta ini kepada tiga bagian, yaitu: :
a. Menghancurkan (الإتلاف), penghancuran ini berlaku terhadap barang-barang dan perbuatan/sifat yang mungkar, seperti penghancuran patung milik orang Islam, penghancuran alat dan tempat minum khamr, dll.
a. Menghancurkan (الإتلاف), penghancuran ini berlaku terhadap barang-barang dan perbuatan/sifat yang mungkar, seperti penghancuran patung milik orang Islam, penghancuran alat dan tempat minum khamr, dll.
b. Mengubah (التّغيير), mengubah harta pelaku antara lain
seperti mengubah patung yang disembah oleh orang muslim dengan memotong bagian
kepalanya sehingga mirip dengan pohon.
c. Memiliki (التّمليك), pemberian hukuman ini antara lain
seperti keputusan Rasulallah melipatgandakan denda bagi seorang yang mencuri
buah-buahan, di samping hukuman jilid dan juga keputusan khalifah Umar bin
Khattab orang yang menggelapkan barang temuan. Selain
denda hukuman ta’zir yang berupa harta adalah penyitaan atau perampasan harta.
4. Hukuman-hukuman Ta’zir yang Lain
4. Hukuman-hukuman Ta’zir yang Lain
a. Peringatan keras
Peringatan keras dapat dilakukan di luar sidang pengadilan dengan
mengutus seorang kepercayaan hakim yang menyampaikan kepada pelaku. Isi
peringatan itu misalnya: “ Telah sampai kepadaku bahwa kamu melakukan
kejahatan....Oleh karena itu jangan kau lakukan lagi.”. Hal itu dilakukan
karena hakim menganggap bahwa perbuatan yang di lakukan pelaku tidak terlalu
berbahaya.
b. Dihadirkan di hadapan sidang
Pelaku dihadirkan di hadapan sidang apabila membandel atau
perbuatannya cukup membahayakan. Di hadapan sidang ia juga diberi peringatan
keras namun kali ini diucapkan. langsung oleh hakim. Bagi orang tertentu
hukuman seperti ini sudah cukup, karena sebagian orang ada yang merasa takut
dan gemetar dalam menghadapi meja hijau. Hukuman ini diberikan terhadap pelaku
tindak pidana ringan yang dilakukan pertama kalinya.
c. Nasihat
c. Nasihat
Ibnu Abidin yang dikutip oleh Abdul Aziz Amir
mengemukakan bahwa yang dimaksud nasihat adalah mengingatkan pelaku apabila ia
lupa dan mengajarinya apabila ia tidak mengerti. Sama seperti dua hukum
sebelumnya, hukum nasihat ini juga diterapkan bagi pelaku-pelaku pemula yang
melakukan tindak pidana, bukan karena kebiasaan melainkan karena kelalaian.
d. Celaan (taubikh)
Imam al-Mawardi mengemukakan bahwa taubikh ini
bisa dilakukan oleh hakim dengan memalingkan muka dari hadapan terdakwa yang
menunjukan ketidaksenangannya, atau memandangnya dengan muka yang masam dan
senyuman sinis. Pada intinya celaan ini bisa dilakukan oleh hakim dengan
berbagai cara dan berbagai perkataanyang dikehendakinya yabg diperkirakan dapat
mencegah pelaku dari tindakan pidana yang pernah dilakukannya.
e. Pengucilan
Yang dimaksud dengan pengucilan adalah melarang pelaku untuk
berhubungan dengan orang lain dan sebaliknya melarang masyarakat berhubungan
dengannya. Hukuman ini mungkin bisa lebih efektif jika pengucilan itu dilakukan
dalam bentuk tidak diikutsertakannya pelaku dalam kegiatan kemasyarakatan.
f. Pemecatan (al-‘azl)
Hukuman ta’zir berupa pemberhentian dari
pekerjaan atau jabatan diterapkan kepada setiap pegawai yang melakukan jarimah,
baik yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatannyamaupun dengan hal-hal
lainnya. Contohnya : Pegawai yang mnerima suap, korupsi, nepotisme, zalim terhadap
bawahan atau rakyat, prajurit yang kabur dalam pertempuran dan hakim yang
memutuskan perkara tanpa dasar hukum yang telah ditetapkan.
g, Pengumuman kesalahan secara terbuka (at-tasyhir)
g, Pengumuman kesalahan secara terbuka (at-tasyhir)
Dalam buku as-Sindi dari Jami’ al-‘Itabi yang
dikutip oleh Abdul Aziz Amir, tasyhir dilakukan dengan mengarak pelaku ke
seluruh negeri dan di setiap tempat selalu diumumkan kesalahan/tindak pidana
yang telah ia lakukan. Jarimah-jarimah yang bisa dikenakan hukuman tasyhir
antara lain: Saksi palsu, pencurian, kerusakan akhlak, kesewenang-wenangan
hakim dan menjual barang-barang yang diharamkan seperti bangkai dan babi. Penerapan
tasyhir tidak dimaksudkan untuk menyebarluaskan kejahatan dan kejelekan pelaku,
melainkan untuk mengobati mentalnya agar ia berubah menjadi orang yang lebih
baik dan tidak mengulangi perbuatannya atau bahkan melakukan kejahatan yang
baru. [13]
HIKMAH DIADAKANNYA HUKUMAN DALAM ISLAM
Dilaksanakan hukuman khususnya
Qishash dan ta’zir banyak mengandung hikmah dan manfaat bagi kehidupan manusia.
Di dalam
Al-Quran ditegaskan:
وَلَكُمْ
فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاأُوْلِي اْلأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ البقرة/2: 179
Dan dalam
qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa. (QS Al-Baqarah: 179)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa dalam pensyari’atan qishash, yaitu hukuman
mati bagi si pembunuh terdapat hikmah yang sangat besar, yaitu kelangsungan
hidup dan perlindungan. Karena jika si pembunuh mengetahui bahwa ia akan
diqishash maka ia akan menahan diri, yaitu menahan diri untuk tidak membunuh. Allah Ta’ala telah menetapkan
jaminan kelangsungan hidup dalam qishash. Ada ungkapan yang mengatakan:
اَلْقَتْلُ
اَنْفَى لِلْقَتْلِ
“Hukuman mati itu lebih tepat untuk memberantas pembunuhan” [14]
Di antara hikmah-hikmah qishash yang lain adalah:
1. Memberikan penghargaan tinggi terhadap status dan martabat manusia
2.
Memberikan pelajaran kepada manusia untuk tidak melakukan
kejahatan, ataupun mempermainkan nyawa manusia.
3.
Dengan adanya hukum qishash maka manusia akan merasa takut berbuat
jahat pada orang lain, terutama penganiayaan tubuh dan jiwa manusia. Sebab jika
hal ini dilakukannya, pasti hukuman akan diberikan kepadanya.
4. Memberikan perlindungan atas hak hidup
5. Hukum
qishash dapat melindungi jiwa dan raga manusia.
6. Timbulnya
ketertiban, keamanan dan kedamaian dalam masyarakat, sebagai bukti dari janji
Allah dalam QS Al-Baqarah: 179.
7. Menunjukkan
bahwa syariat Islam itu luwes dalam menangani masalah. Seoalah-lah hukum qishash
itu kejam, tetapi apabila dikaji lagi justru dengan diberlakukannya qishash
maka keadilan dapat ditegakkan dengan merata.
Sedangkan konsep keadilan secara umum memiliki hikmah yang cukup dalam
dan luas. Apabila dicermati dan dianalisis, bahwa apa yang ditetapkan Allah
swt. betul-betul punya makna dan hikmah, apalagi jika perintah tersebut
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh semua komponen masyarakat.
Konsep keadilan merupakan sesuatu yang tidak hanya menjadi sebuah konsep atau
wacana yang ideal, tetapi betul-betul harus dibumikan dalam kehidupan
sehari-hari bagi manusia.
Secara garis besar dapat ditarik hikmah
atau manfaat dari implementasi keadilan, antara lain:
a. Mengharmoniskan hubungan di antara warga
masyarakat.
b. Memperkuat persaudaraan dan memperkokoh persatuan
umat dan masyarakat.
c.
Menjauhkan masyarakat dari
sifat-sifat diskriminatif yang
dapat menimbulkan konflik
internal dan eksternal dalam masyarakat.
d. Menjadi arah dan cita-cita sebuah masyarakat
dan bangsa.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Ghaffar EM, M, Tafsir Ibnu Katsir
(terjemahan), Jilid 1.3, Pustaka Imam Asy- Syafi’i, Jakarta, Cetakan ke 4, 2005
Abubakar Muhammad, H, Drs, Terjemahan Subulussalam Jilid IV,
Al- Ikhlas, Surabaya, Cetakan ke 1, 1995
Ambo Asse, Prof. DR. Konsep Adil Dalam Al-
Qur’an, Arrisalah, Volume 10, No. 2, Nopember 2010
Djazuli, HA, Prof, Drs, Fiqih Jinayah Upaya Menanggulangi
Kejahatan Dalam Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan Pertama,
1996
Nurul Irfan, HM, DR, M.Ag, dan Masyrofah,
S.Ag, M.Si, Fiqh Jinayah, Amzah, Jakarta, Cetakan pertama, 2013
Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran Tafsir Maudhu ’i atas Pelbagai
Persoalan Umat, Mizan,
Bandung,, 1998
Sayyid Sabiq, Fikih Islam, Jilid 10, Terjemahan, PT. Al-
Ma’arif, Bandung, 1990
Sulaiman Rasyid, H, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo,
Bandung, Cetakan ke 45, 2010
[1] Ambo Asse,
Konsep Adil Dalam Al- Qur’an, Arrisalah, Volume 10, No. 2,
Nopember 2010, hal. 275- 276
[2]
Quraish Shihab,M, Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu ’i Atas
Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung,,
1998, hal. 111
[3]Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, Bab I pasal 1
[11]
Abubakar Muhammad, Terjemahan Subulussalam Jilid IV, Al- Ikhlas,
Surabaya, Cetakan ke 1, 1995, hal. 154
[13]
Djazuli, HA,
Prof, Drs, opcit, hal. 188- 218
[14] Abdul Ghaffar EM, M, Tafsir Ibnu Katsir
(terjemahan), Jilid 1.3, (Pustaka Imam Asy- Syafi’i, Jakarta, Cetakan ke 4,
2005), hal. 55
Tidak ada komentar:
Posting Komentar