WASILAH
(TAWASSUL)
PENGERTIAN WASILAH
WASILAH
menurut bahasa ialah “Sesuatu yang dapat mendekatkan kepada yang lain.”
Jama’nya adalah alwasaail. Dalam
“Al-Mishbah”, dinyatakan : “Wassaltu Ilallahi bil’amal (Saya mendekatkan diri kepada Allah dengan amal).”
“Taqarroba ilaihi bi’amalin (Dia mendekatkan diri kepada-Nya dengan amal).”
Ibnu Abbas ra, menegaskan : “Al-wasilah hiyal qurbah (Wasilah ialah
pendekatan).”
Di dalam tafsir Ibnu Katsir Jilid 2 dijelaskan : “Wasilah
ialah sesuatu yang menyampaikan kepada maksud.”
Dalam kamus “Al-Munjid” disebutkan wasilah berarti sesuatu yang didekatkan kepada yang lain.
Dalam kamus “Al-Munjid” disebutkan wasilah berarti sesuatu yang didekatkan kepada yang lain.
Adapun TAWASSUL menurut hukum Islam ialah pendekatan diri kepada Allah, dengan
mentaati dan beribadat kepada-Nya, mengikuti Nabi-Nabi dan Rasul-Nya, dengan
semua amal yang dikasihi dan diridhoi-Nya.
Demikianlah setiap yang diperintahkan Syara’, baik yang
wajib maupun yang sunnat adalah tawassul atau wasilah menurut Syara’.
DASAR HUKUM TAWASSUL
Adapun dasar hukum wasilah itu antara lain firman Allah SWT
dalam al-Qur’an surah al-Maidah 35
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan
berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS.
Al- Maidah: 35)
Ibnu Abbas t berkata: “Makna Wasilah
dalam ayat tersebut adalah peribadahan yang dapat mendekatkan diri kepada
Allah (al-Qurbah).” Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Abu
Wa’il, al-Hasan, ‘Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid dan yang lainnya.
Qatadah berkata tentang makna ayat tersebut: “Mendekatlah kepada Allah
dengan mentaati-Nya dan mengerjakan amalan yang diridhai-Nya”
Dari ayat ini dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1.
Ayat
ini hanya ditujukan kepada orang-orang yang beriman. Jadi ayat ini bukan
ditujukan untuk orang-orang yang setengah beriman (ragu-ragu terhadap adanya
Tuhan), orang-orang yang musyrik dan orang-orang kafir, sebab mereka ini akan
menjadikan jalan (wasilah) itu sebagai Tuhan mereka.
2. Untuk
mencapai kebahagiaan harus melalui syarat-syarat sebagai berikut :
a. Dengan selalu bertaqwa kepada Allah SWT dalam segala aspek kehidupan.
b. Hendaknya mencari jalan (wasilah) untuk menuju kepada-Nya.
c. Berjuang pada jalan-Nya itu.
d. Jika hal tersebut di atas dijalankan maka akan mendapat keberuntungan atau kemenangan.
a. Dengan selalu bertaqwa kepada Allah SWT dalam segala aspek kehidupan.
b. Hendaknya mencari jalan (wasilah) untuk menuju kepada-Nya.
c. Berjuang pada jalan-Nya itu.
d. Jika hal tersebut di atas dijalankan maka akan mendapat keberuntungan atau kemenangan.
BENTUK- BENTUK TAWASSUL
Secara garis besar tawassul lah
terbagi dua, yaitu; Tawassul yang
disyariatkan (masyru’) dan Tawassul yang
dilarang (mamnu’).
Twassul Yang Disyari’atkan
Adapun tawassul yang disyariatkan ialah setiap tawassul yang
diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasul-Nya, sehingga dapat mendorong kita
untuk melaksanakannya. Tawassul seperti berarti “sesuatu pendekatan kepada
Allah dengan taat dan mengerjakan amal-amal saleh yang disukai dan
diridhoi-Nya.”
Tawassul yang disyari’atkan itu
terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu :
1.
Tawassul seorang Mu’min kepada Allah dengan zat-Nya,
Nama-nama-Nya dan Sifat-sifat-Nya yang tinggi.
Misalnya seseorang
yang memulai do’a kepada Allah dengan meng-agungkan, membesarkan, memuji,
mensucikan terhadap dzat-Nya yang Mahatinggi, Nama-Nama-Nya yang indah dan
Sifat-Sifat-Nya yang tinggi kemudia berdo’a dengan apa yang Dia inginkan dengan
menjadikan pujian, pengagungan dan pensucian ini hanya untuk Allah agar Dia
mengabulkan do’a dan mengabulkan apa yang dia minta kepada -Nya
Dalil dari al-Qur’an tentang tawassul yang masyru’ ini adalah firman Allah Ta’ala:
Dalil dari al-Qur’an tentang tawassul yang masyru’ ini adalah firman Allah Ta’ala:
“Hanya
milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran
dalam (menyebut) nama-nama-Nya nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap apa
yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al- A’raf: 180)
Rasullulah
r mendengar seseorang mengucapkan:
“Ya
Allah, aku mohon kepada-Mu. Sesungguhnya bagi-Mu segala pujian, tidak ada ilah
yang berhak diibadahi degan benar kecuali Engkau Yang Mahaesa, tidak ada sekutu
bagi-Mu, Mahapemberi Nikmat, pencipta langit dan bumi tanpa contoh sebelumnya.
Ya Rabb Yang memiliki keagungan dan kemuliaan, ya Rabb Yang Mahahidup, ya Rabb
yang mengurusi segala sesuatu, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu agar
dimasukkan (ke Surga dan aku berlindung kepada-Mu dan siksa Neraka)“
Rasullulah r bersabda:
Rasullulah r bersabda:
“Sungguh engkau telah meminta kepada Allah dengan Nama-Nya Yang
paling Agung yang apabila seseorang berdo’a akan dikabulkan, dan apabila ia
meminta akan dipenuhi permintaanya.” (HR Abu Dawud no 1495, an-Nasa’i
III/52, dan Ibnu Majah 3858, dari sahabat Anas bin Malik t . lihat shahih ibnu
majah II/329)
2. Tawassul seorang Mu’min kepada Allah, dengan amal-amal shalehnya.
Misalnya kita
memohon kepada Allah segala kebaikan dan pertolongan-Nya dengan menyebutkan
kebaikan kita (amal shalih kita). Allah SWT berfirman:
“(yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan Kami,
Sesungguhnya Kami telah beriman, Maka ampunilah segala dosa Kami dan
peliharalah Kami dari siksa neraka," (QS. Ali Imran: 16)
Tentang
tawassul dengan amal shalih, Nabi SAW memberikan contoh tentang tiga orang
laki- laki pada masa dahulu yang terjebak di dalam gua. Dari Abdullah bin Umar
Radhiyallahu’anhu: Dari Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, Beliau menceritakan
tentang tiga orang laki- laki yang terjebak di dalam gua. Tetapi kemudian ia
berdo’a kepada Allah dengan menyebutkan amal shalihnya, akhirnya oleh Allah
SWTmenggeser batu yang menutupinya, dan mereka pun dapat keluar dari gua.
3. Tawassul
seorang Mu’min kepada Allah dengan do’a saudaranya yang Mu’min.
Jika seorang Muslim menghadapi kesulitan atau
tertimpa musibah besar, namun ia menyadari kekurangan-kekurangan dirinya
dihadapan Allah, sedang ia ingin mendapatkan sebab yang kuat kepada Allah, lalu
ia pergi kepada orang yang diyakini keshalihan dan ketakwaanya, atau memiliki
keutamaan dan pengetahuan tentang al-Qur’an dan Sunnah, kemudian ia meminta
kepada orang shalih itu agar berdo’a kepada Allah untuk dirinya, supaya ia
dibebaskan dari kesedihan dan kesusahan, maka cara demikian ini termasuk
tawassul yang dibolehkan seperti:
Pertama, hadits yan diriwayatkan oleh Anas bin Malik t ia
berkata: “Pernah terjadi musim kemarau pada masa Rasulullah r , yaitu ketika
Nabi r berkhutbah dihari Jum’at. Tiba-tiba berdirilah seorang Arab Badui, ia
berkata: ‘Ya Rasulullah telah musnah harta dan telah kelaparan keluarga‘
Lalu Rasulullah mengangkat kedua tanggannya seraya berdo’a: ‘Ya Allah
turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah,
turunkanlah hujan kepada kami‘. Tidak lama
kemudian, hujanpun turun” (HR Bukhari no 932, 933, 1013 dan Abu Dawud no. 1174)
Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa Umar
bin al-Khaththab t -ketika terjadi musim paceklik- ia meminta hujan
melalui Abbas bin Abdil Muththalib t , lalu berkata: “Ya Allah, dahulu kami
bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami, lalu Engkau menurunkan hujan kepada
kami. Sekarang kami memohon kepada-Mu melalui paman Nabi kami, maka
berilah hujan.” Ia (Anas bin Malik) berkata: “Lalu merekapun diberi hujan”
(HR Bukhari no 1010 dan Ibnu Sa’d dalam ath-thabaqaat IV/28-29 dan Mukhtashar
al-Bukhari no 536) untuk
mendo’akan beliau:
Yang serupa dengan itu adalah sebagaimana juga
Rasulullah SAW meminta kepada seluruh ummatnya.
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, beliau mendengar Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِىَ الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِى الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِىَ الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
“Apabila kalian mendengar mu’adzin, maka
ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan oleh muadzin, lalu bershalawatlah
kepadaku, maka sungguh siapa saja yang bershalawat kepadaku sekali, Allah akan
bershalawat kepadanya sebanyak 10x. Kemudian
mintalah pada Allah wasilah bagiku karena wasilah adalah sebuah kedudukan di surga.
Tidaklah layak mendapatkan kedudukan tersebut kecuali utk satu orang di antara
hamba Allah. Aku berharap aku adalah dia. Barangsiapa meminta wasilah untukku,
dia berhak mendapatkan syafa’atku.” (HR. Muslim
no. 875)
Do’a yang dimaksud adalah do’a sesudah
adzan yang diajarkannoleh Nabi SAW:
اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ
التَّامَّةِ، وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ
وَالْفَضِيْلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ
“Wahai Tuhan Pemilik seruan
yg sempurna ini dan shalat yg ditegakkan ini. Berilah kepada Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam wasilah (kedudukan) dan keutamaan dan bangkitkanlah dia pada kedudukan yg terpuji yg
telah Engkau janjikan kepadanya.”
Dengan demikian, dibolehkan mengharapkan
syafaat kepada Nabi SAW dengan jalan kita mendo’akan dan membacakan shalawat
untuk Nabi SAW. Bukan meminta kepada Nabi SAW agar do’anya sampai kepada Allah
SWT atau agar Beliau mengampuni dosa- dosa kita.
Tawassul Yang Dilarang (Mamnu’)
Tawassul yang dilarang ada yang bid’ah dan ada
yang syirik, yaitu sebagai berikut:
1. Tawassul yang bid’ah
Tawassul yang bid’ah yaitu mendekatkan diri
kepada Allah dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan syariat. Tawassul yang
bid’ah ini ada beberapa macam, diantaranya:
a.
Tawassul dengan
kedudukan Nabi Muhammad SAW atau kedudukan orang selainnya.
Perbuatan
ini adalah bid’ah dan tidak boleh dilakukan. Adapun hadits yang berbunyi:
“Jika kalian hendak memohon kepada Allah, maka mohonlah kepada-Nya dengan kedudukanku disisi Allah adalah agung“.
“Jika kalian hendak memohon kepada Allah, maka mohonlah kepada-Nya dengan kedudukanku disisi Allah adalah agung“.
Hadits ini bathil dan tidak ada asal-usulnya
dan tidak terdapat sama sekali dalam kitab-kitab hadits yang menjadi rujukan,
tidak juga seorang ulamapun yang menyebutnya sebagai hadits (Majmu fatawa I/319
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah). Jika tidak ada satupun dalil yang shahih
tentangnya, maka itu berarti tidak boleh, sebab setiap ibadah tidak dilakukan
kecuali berdasarkan dalil yang shahih dan jelas.
b.
Tawassul dengan
dzat mahluk.
Tawassul ini -seperti bersumpah dengan mahluk- tidak
dibolehka, sebab sumpah mahluk terhadap mahluk tidak dibolehkan, bahkan termsuk
syirik, sebagaimaan disebutkan didalam hadits. Dan Allah tidak menjadikan
permohonan kepada mahluk sebagai sebab dikabulkannya do’a dan Dia tidak
mensyariatkan hal tersebut kepada para hamba-Nya
c.
Tawassul dengan
mahluk.
Tawassul inipun tidak dibolehkan, karena dua alasan:
Pertama, bahwa Allah tidak wajib memenuhi hak atas
seseorang, tetapi justru sebaliknya, Allah-lah yang menganugerahi hak tersebut
kepada mahluk-Nya, sebagaimana firman-Nya: “Dan adalah hak Kami menolong
orang-orang yang beriman” (QS Ar-ruum: 47) Orang yang taat mendapat
balasan (kebaikan) dari Allah karena anugerah dan nikmat, bukan karena balasan
setara sebagaimana mahluk dengan mahluk yang lain.
Kedua, hak yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya,
adalah hak khusus bagi diri hamba tersebut. jika ada yang bertawassul
dengannya, padahal dia tidak mempunyai hak berarti dia bertawassul dengan
perkara asing yang tidak ada kaitannya antara dirinya dengan hal tersebut dan
itu tidak bermanfaat untuknya sama sekali.
Adapun hadits yang berbunyi: “Aku mohon
kepada-Mu dengan hak orang-orang yang memohon“ hadits ini dhaif sebagaimana
diriwayatkan oleh imam Ahmad (III/21), lafazh ini milik Ahmad dan Ibnu Majah. Dalam
sanad hadits ini terdapat Athiyyah al -Aufi dari Abu Sa’id al-khudri t.
Athiyyah adalah perawi yang dhaif seperti yang dikatakan oleh imam Nawawi -rahimahumullah-
dalam al-Adzkaar, imam Ibnu Taimiyyah -rahimahumullah- dalam
al-Qaa’idatul Jaliilah dan imam Adz-dzhabi dalam al-Miizaan, bahkan dikatakan
(dalam adh-Dhu’aafaa’,I/88): “Disepakati kedhaifannya!!” demikian
pula oleh al-Hafizh al-Haitsami ditempat lainnya dari Majma’uz Zawaa-id
(V/236). (Dinukil dari Tawassul ‘Anwaa-uhu wa Ahkamuhu hal 99 oleh Syaikh
Albani, cet Daarus Salafiyah)
2. Tawassul syirik
Tawassul yang syirik, yaitu menjadikan orang
yang sudah meninggal sebagai perantara dalam ibadah seperti berdo’a kepada
mereka, meminta hajat, atau memohon pertolongan sesuatu kepada mereka.
Allah Ta’ala berfirman: “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama
yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain
Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya.” Sesungguhnya Allah
akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya.
Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar”
(QS Az-Zumar: 3)
Tawassul dengan meminta do’a kepada orang mati
tidak dibolehkan bahkan perbuatan ini adalah syirik akbar. Karena mayit tidak
mampu berdo’a seperti ketika ia masih hidup. Demikian juga meminta syafa’at
kepada orang mati, karena Umar bin al-Khaththab, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan
para sahabat yang bersama mereka, juga para Tabi’in yang mengikuti mereka
dengan baik ketika ditimpa kekeringan mereka memohon diturunkannya hujan,
bertawassul dan meminta syafaat kepada orang yang masih hidup, seperti kepada
al-Abbas bin Abdil Muthalib dan Yazid bin al-Aswad. Mereka tidak bertawassul, meminta
syafa’at dan memohon diturunkannya hujan melalui Nabi Muhammad, baik dikuburan
beliau atau pun di kuburan orang lain, tetapi mereka mencari pengganti dengan
orang yang masih hidup.
Umar bin al-Khaththab berkata:
“Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu denagn perantaraan Nabi-Mu,
sehingga engkau menurunkan hujan kepada kami dan kini kami bertawassul kepada
paman Nabi kami, karena itu turunkanlah hujan kepada kami. Ia
(Anas) berkata:’Lalu Allah menurunkan hujan’ “. (HR Bukhari)
Mereka menjadikan al-Abbas sebagai pengganti
dalam bertawassul ketika mereka tidak lagi bertawassul kepada Nabi Muhammad,
sesuai dengan yang disyariatkan sebagaimana yang telah mereka lakukan
sebelumnya. Padahal sangat mungkin bagi mereka untuk datang kekubur Nabi dan bertawassul melalui beliau, jika memang
hal itu dibolehkan. Dan mereka para sahabat
yang meninggalkan praktek-praktek tersebut merupakan bukti tidak
diperbolehkannya bertawassul dengan orang mati, agar do’a atau amalnya diterima Allah SWT .
Drs. H. Djedjen Zainuddin/ 0817732580
Pengajian Ahad Pagi
MT Kaum Ibu Masjid Nurul Iman
