Minggu, 24 November 2013

TAWASSUL


WASILAH (TAWASSUL)

PENGERTIAN WASILAH
WASILAH menurut bahasa ialah “Sesuatu yang dapat mendekatkan kepada yang lain.” Jama’nya adalah alwasaail.  Dalam “Al-Mishbah”, dinyatakan : “Wassaltu Ilallahi bil’amal (Saya  mendekatkan diri kepada Allah dengan amal).” “Taqarroba ilaihi bi’amalin (Dia mendekatkan diri kepada-Nya dengan amal).” Ibnu Abbas ra, menegaskan : “Al-wasilah hiyal qurbah (Wasilah ialah pendekatan).”
Di dalam tafsir Ibnu Katsir Jilid 2 dijelaskan : “Wasilah ialah sesuatu yang menyampaikan kepada maksud.”
 Dalam kamus “Al-Munjid” disebutkan wasilah berarti sesuatu yang didekatkan kepada yang lain.
Adapun TAWASSUL menurut hukum Islam  ialah pendekatan diri kepada Allah, dengan mentaati dan beribadat kepada-Nya, mengikuti Nabi-Nabi dan Rasul-Nya, dengan semua amal yang dikasihi dan diridhoi-Nya.
Demikianlah setiap yang diperintahkan Syara’, baik yang wajib maupun yang sunnat adalah tawassul atau wasilah menurut Syara’.


DASAR HUKUM TAWASSUL
Adapun dasar hukum wasilah itu antara lain firman Allah SWT dalam al-Qur’an surah al-Maidah 35
 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al- Maidah: 35)
Ibnu Abbas t berkata: “Makna Wasilah dalam ayat tersebut adalah peribadahan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah (al-Qurbah).” Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Abu Wa’il, al-Hasan, ‘Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid dan yang lainnya. Qatadah berkata tentang makna ayat tersebut: “Mendekatlah kepada Allah dengan mentaati-Nya dan mengerjakan amalan yang diridhai-Nya”
Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.   Ayat ini hanya ditujukan kepada orang-orang yang beriman. Jadi ayat ini bukan ditujukan untuk orang-orang yang setengah beriman (ragu-ragu terhadap adanya Tuhan), orang-orang yang musyrik dan orang-orang kafir, sebab mereka ini akan menjadikan jalan (wasilah) itu sebagai Tuhan mereka.
2. Untuk mencapai kebahagiaan harus melalui syarat-syarat sebagai berikut :
a. Dengan selalu bertaqwa kepada Allah SWT dalam segala aspek kehidupan.
b. Hendaknya mencari jalan (wasilah) untuk menuju kepada-Nya.
c. Berjuang pada jalan-Nya itu.
d. Jika hal tersebut di atas dijalankan maka akan mendapat keberuntungan atau kemenangan.


BENTUK- BENTUK TAWASSUL
Secara garis besar tawassul lah terbagi dua, yaitu;  Tawassul yang disyariatkan (masyru’) dan  Tawassul yang dilarang (mamnu’).

Twassul Yang Disyari’atkan
Adapun tawassul yang disyariatkan ialah setiap tawassul yang diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasul-Nya, sehingga dapat mendorong kita untuk melaksanakannya. Tawassul seperti berarti “sesuatu pendekatan kepada Allah dengan taat dan mengerjakan amal-amal saleh yang disukai dan diridhoi-Nya.”
Tawassul yang disyari’atkan itu terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu :

1.      Tawassul seorang Mu’min kepada Allah dengan zat-Nya, Nama-nama-Nya dan Sifat-sifat-Nya yang tinggi.
Misalnya seseorang yang memulai do’a kepada Allah dengan meng-agungkan, membesarkan, memuji, mensucikan terhadap dzat-Nya yang Mahatinggi, Nama-Nama-Nya yang indah dan Sifat-Sifat-Nya yang tinggi kemudia berdo’a dengan apa yang Dia inginkan dengan menjadikan pujian, pengagungan dan pensucian ini hanya untuk Allah agar Dia mengabulkan do’a dan mengabulkan apa yang dia minta kepada -Nya
Dalil dari al-Qur’an tentang tawassul yang masyru’ ini adalah firman Allah Ta’ala:
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al- A’raf: 180)
Rasullulah r mendengar seseorang mengucapkan:
Ya Allah, aku mohon kepada-Mu. Sesungguhnya bagi-Mu segala pujian, tidak ada ilah yang berhak diibadahi degan benar kecuali Engkau Yang Mahaesa, tidak ada sekutu bagi-Mu, Mahapemberi Nikmat, pencipta langit dan bumi tanpa contoh sebelumnya. Ya Rabb Yang memiliki keagungan dan kemuliaan, ya Rabb Yang Mahahidup, ya Rabb yang mengurusi segala sesuatu, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu agar dimasukkan (ke Surga dan aku berlindung kepada-Mu dan siksa Neraka)
Rasullulah r bersabda:
Sungguh engkau telah meminta kepada Allah dengan Nama-Nya Yang paling Agung yang apabila seseorang berdo’a akan dikabulkan, dan apabila ia meminta akan dipenuhi permintaanya.” (HR Abu Dawud no 1495, an-Nasa’i III/52, dan Ibnu Majah 3858, dari sahabat Anas bin Malik t . lihat shahih ibnu majah II/329)

2.   Tawassul seorang Mu’min kepada Allah, dengan amal-amal shalehnya.
Misalnya kita memohon kepada Allah segala kebaikan dan pertolongan-Nya dengan menyebutkan kebaikan kita (amal shalih kita). Allah SWT berfirman:
“(yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami telah beriman, Maka ampunilah segala dosa Kami dan peliharalah Kami dari siksa neraka," (QS. Ali Imran: 16)
Tentang tawassul dengan amal shalih, Nabi SAW memberikan contoh tentang tiga orang laki- laki pada masa dahulu yang terjebak di dalam gua. Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu’anhu: Dari Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, Beliau menceritakan tentang tiga orang laki- laki yang terjebak di dalam gua. Tetapi kemudian ia berdo’a kepada Allah dengan menyebutkan amal shalihnya, akhirnya oleh Allah SWTmenggeser batu yang menutupinya, dan mereka pun dapat keluar dari gua.

3. Tawassul seorang Mu’min kepada Allah dengan do’a saudaranya yang Mu’min.
Jika seorang Muslim menghadapi kesulitan atau tertimpa musibah besar, namun ia menyadari kekurangan-kekurangan dirinya dihadapan Allah, sedang ia ingin mendapatkan sebab yang kuat kepada Allah, lalu ia pergi kepada orang yang diyakini keshalihan dan ketakwaanya, atau memiliki keutamaan dan pengetahuan tentang al-Qur’an dan Sunnah, kemudian ia meminta kepada orang shalih itu agar berdo’a kepada Allah untuk dirinya, supaya ia dibebaskan dari kesedihan dan kesusahan, maka cara demikian ini termasuk tawassul yang dibolehkan seperti:
Pertama, hadits yan diriwayatkan oleh Anas bin Malik t ia berkata: “Pernah terjadi musim kemarau pada masa Rasulullah r , yaitu ketika Nabi r berkhutbah dihari Jum’at. Tiba-tiba berdirilah seorang Arab Badui, ia berkata: ‘Ya Rasulullah telah musnah harta dan telah kelaparan keluarga‘ Lalu Rasulullah mengangkat kedua tanggannya seraya berdo’a: ‘Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami‘. Tidak lama kemudian, hujanpun turun” (HR Bukhari no 932, 933, 1013 dan Abu Dawud no. 1174)
Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa Umar bin al-Khaththab t -ketika terjadi musim paceklik- ia meminta hujan melalui Abbas bin Abdil Muththalib t , lalu berkata: “Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami, lalu Engkau menurunkan hujan kepada kami. Sekarang kami memohon kepada-Mu melalui paman Nabi kami, maka berilah hujan.” Ia (Anas bin Malik) berkata: “Lalu merekapun diberi hujan” (HR Bukhari no 1010 dan Ibnu Sa’d dalam ath-thabaqaat IV/28-29 dan Mukhtashar al-Bukhari no 536) untuk mendo’akan beliau:
Yang serupa dengan itu adalah sebagaimana juga Rasulullah SAW meminta kepada seluruh ummatnya.
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِىَ الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِى الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِىَ الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
“Apabila kalian mendengar mu’adzin, maka ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan oleh muadzin, lalu bershalawatlah kepadaku, maka sungguh siapa saja yang bershalawat kepadaku sekali, Allah akan bershalawat kepadanya sebanyak 10x. Kemudian mintalah pada Allah wasilah bagiku karena wasilah adalah sebuah kedudukan di surga. Tidaklah layak mendapatkan kedudukan tersebut kecuali utk satu orang di antara hamba Allah. Aku berharap aku adalah dia. Barangsiapa meminta wasilah untukku, dia berhak mendapatkan syafa’atku.” (HR. Muslim no. 875)
        Do’a yang dimaksud adalah do’a sesudah adzan yang diajarkannoleh Nabi SAW:

اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ
“Wahai Tuhan Pemilik seruan yg sempurna ini dan shalat yg ditegakkan ini. Berilah kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam wasilah (kedudukan) dan keutamaan dan bangkitkanlah dia pada kedudukan yg terpuji yg telah Engkau janjikan kepadanya.
Dengan demikian, dibolehkan mengharapkan syafaat kepada Nabi SAW dengan jalan kita mendo’akan dan membacakan shalawat untuk Nabi SAW. Bukan meminta kepada Nabi SAW agar do’anya sampai kepada Allah SWT atau agar Beliau mengampuni dosa- dosa kita.

Tawassul Yang Dilarang (Mamnu’)
Tawassul yang dilarang ada yang bid’ah dan ada yang syirik, yaitu sebagai berikut:

1.   Tawassul yang bid’ah

Tawassul yang bid’ah yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan syariat. Tawassul yang bid’ah ini ada beberapa macam, diantaranya:
a.    Tawassul dengan kedudukan Nabi Muhammad SAW atau kedudukan orang selainnya.
Perbuatan ini adalah bid’ah dan tidak boleh dilakukan. Adapun hadits yang berbunyi:
Jika kalian hendak memohon kepada Allah, maka mohonlah kepada-Nya dengan kedudukanku disisi Allah adalah agung“.
Hadits ini bathil dan tidak ada asal-usulnya dan tidak terdapat sama sekali dalam kitab-kitab hadits yang menjadi rujukan, tidak juga seorang ulamapun yang menyebutnya sebagai hadits (Majmu fatawa I/319 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah). Jika tidak ada satupun dalil yang shahih tentangnya, maka itu berarti tidak boleh, sebab setiap ibadah tidak dilakukan kecuali berdasarkan dalil yang shahih dan jelas.
b.   Tawassul dengan dzat mahluk.
Tawassul ini -seperti bersumpah dengan mahluk- tidak dibolehka, sebab sumpah mahluk terhadap mahluk tidak dibolehkan, bahkan termsuk syirik, sebagaimaan disebutkan didalam hadits. Dan Allah tidak menjadikan permohonan kepada mahluk sebagai sebab dikabulkannya do’a dan Dia tidak mensyariatkan hal tersebut kepada para hamba-Nya

c.    Tawassul dengan mahluk.
Tawassul inipun tidak dibolehkan, karena dua alasan:
Pertama, bahwa Allah tidak wajib memenuhi hak atas seseorang, tetapi justru sebaliknya, Allah-lah yang menganugerahi hak tersebut kepada mahluk-Nya, sebagaimana firman-Nya: “Dan adalah hak Kami menolong orang-orang yang beriman(QS Ar-ruum: 47) Orang yang taat mendapat balasan (kebaikan) dari Allah karena anugerah dan nikmat, bukan karena balasan setara sebagaimana mahluk dengan mahluk yang lain.

Kedua, hak yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya, adalah hak khusus bagi diri hamba tersebut. jika ada yang bertawassul dengannya, padahal dia tidak mempunyai hak berarti dia bertawassul dengan perkara asing yang tidak ada kaitannya antara dirinya dengan hal tersebut dan itu tidak bermanfaat untuknya sama sekali.
Adapun hadits yang berbunyi: “Aku mohon kepada-Mu dengan hak orang-orang yang memohon“ hadits ini dhaif sebagaimana diriwayatkan oleh imam Ahmad (III/21), lafazh ini milik Ahmad dan Ibnu Majah. Dalam sanad hadits ini terdapat Athiyyah al -Aufi dari Abu Sa’id al-khudri t. Athiyyah adalah perawi yang dhaif seperti yang dikatakan oleh imam Nawawi -rahimahumullah- dalam al-Adzkaar, imam Ibnu Taimiyyah -rahimahumullah- dalam al-Qaa’idatul Jaliilah dan imam Adz-dzhabi dalam al-Miizaan, bahkan dikatakan (dalam adh-Dhu’aafaa’,I/88): “Disepakati kedhaifannya!!” demikian pula oleh al-Hafizh al-Haitsami ditempat lainnya dari Majma’uz Zawaa-id (V/236). (Dinukil dari Tawassul ‘Anwaa-uhu wa Ahkamuhu hal 99 oleh Syaikh Albani, cet Daarus Salafiyah)

2.   Tawassul syirik

Tawassul yang syirik, yaitu menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam ibadah seperti berdo’a kepada mereka, meminta hajat, atau memohon pertolongan sesuatu kepada mereka.
Allah Ta’ala berfirman: Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya.” Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar” (QS Az-Zumar: 3)
Tawassul dengan meminta do’a kepada orang mati tidak dibolehkan bahkan perbuatan ini adalah syirik akbar. Karena mayit tidak mampu berdo’a seperti ketika ia masih hidup. Demikian juga meminta syafa’at kepada orang mati, karena Umar bin al-Khaththab, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan para sahabat yang bersama mereka, juga para Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik ketika ditimpa kekeringan mereka memohon diturunkannya hujan, bertawassul dan meminta syafaat kepada orang yang masih hidup, seperti kepada al-Abbas bin Abdil Muthalib dan Yazid bin al-Aswad. Mereka tidak bertawassul, meminta syafa’at dan memohon diturunkannya hujan melalui Nabi Muhammad, baik dikuburan beliau atau pun di kuburan orang lain, tetapi mereka mencari pengganti dengan orang yang masih hidup.
Umar bin al-Khaththab berkata: “Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu denagn perantaraan Nabi-Mu, sehingga engkau menurunkan hujan kepada kami dan kini kami bertawassul kepada paman Nabi kami, karena itu turunkanlah hujan kepada kami. Ia (Anas) berkata:’Lalu Allah menurunkan hujan’ “. (HR Bukhari)
Mereka menjadikan al-Abbas sebagai pengganti dalam bertawassul ketika mereka tidak lagi bertawassul kepada Nabi Muhammad, sesuai dengan yang disyariatkan sebagaimana yang telah mereka lakukan sebelumnya. Padahal sangat mungkin bagi mereka untuk datang kekubur Nabi  dan bertawassul melalui beliau, jika memang hal itu dibolehkan. Dan mereka para sahabat  yang meninggalkan praktek-praktek tersebut merupakan bukti tidak diperbolehkannya bertawassul dengan orang mati, agar do’a atau amalnya diterima Allah SWT .

Drs. H. Djedjen Zainuddin/ 0817732580
Pengajian Ahad Pagi
MT Kaum Ibu Masjid Nurul Iman
 Kementan, 29 April 2012

PERSEPSI YANG KELIRU


Kajian Aqidah/ Keimanan;
MELURUSKAN PERSEPSI KELIRU
YANG DAPAT MERUSAK IMAN

Banyak persepsi atau anggapan di dalam masyarakat yang selama ini dianggap benar, padahal sebenarnya sangat keliru atau tidak sesuai dengan ajaran Islam. Persepsi tersebut bisa menjerumuskan kita, bisa  melemahkan, dan merusak keimanan serta amal shalih kita.
Persepsi- persepsi keliru tersebut antara lain sebagai berikut:

1.      Agama itu bukan suatu keharusan, yang penting kita berbuat baik dan tidak merugikan orang lain. Orang yang punya persepsi seperti ini hidupnya hanya didasarkan kepada hawa nafsunya sendiri. Padahal semestinya kita ini hidup berpedoman kepada aturan yang dibuat oleh Sang Pencipta, karena Dia-lah yang mengetahui keadaan kita. Orang seperti ini akan meninggalkan ibadah kepada Allah, karena ibadah itu menurut pandangannya tidak akan mendatangkan kebaikan dan keuntungan apa- apa.
2.      Hanya para Nabi yang bisa taat sepenuhnya kepada Allah SWT. . Persepsi ini keliru, karena manusia manapun bisa mencapai ketaatan yang tinggi di sisi Allah SWT dan di sisi manusia, sebab manusia sudah dibekali akal dan hati untuk dapat memilih jalan hidupnya. Orang yang punya persepsi seperti ini tidak akan berusaha untuk menjadi manusia yang baik di sisi Allah SWT, karena menurut anggapannya bahwa ia sudah diciptakan seperti demikian oleh Allah SWT dengan meninggalkan usaha untuk memperbaiki diri.
3.      Fanatik Madzhab. Fanatik madzhab dapat mendatangkan bencana bagi dirinya maupun orang lain. Yang dimaksud dengan fanatik madzhab adalah menganggap bahwa kelompoknya yang paling benar, sedangkan kelompok lain salah/ keliru. Fanatik madzhab dapat  menyebabkan seseorang itu kerdil dalam beragama, karena menganggap yang lain itu sesat.
4.      Sabar itu ada batasnya. Padahal sabar itu perintah Allah dan tidak ada batasnya, sampai kita meninggal dunia. Akibat pemahaman seperti ini hati manusia menjadi rapuh, tidak tegar menerima ujian dari Allah, dan akibat selanjutnya batin menjadi merana. Banyak orang yang lepas kontrol karena punya pemahaman: “Sabar itu ada batasnya”.
5.      Orang yang sukses dan bahagia adalah orang yang banyak harta. Karena persepsi inilah banyak manusia berlomba- lomba mengejar materi, meskipun dengan jalan yang haram dan tidak diridhai Allah SWT. Akibat lain, banyak manusia yang iri hati kepada kekayaan orang lain dan merasa rendah/ kerdil bila berhadapan dengan orang kaya.
6.      Roh orang yang sudah meninggal dunia dapat berhubungan dengan orang yang masih hidup. Pendapat ini keliru, karena manusia yang sudah meninggal sudah menempati alam lain dan tidak lagi bisa berhubungan dengan orang yang masih hidup, demikian pula sebaliknya. Jika ada orang yang kesurupan atau orang yang dijadikan media, lalu mengatakan ruhnya si fulan dengan memberikan informasi tertentu, maka itu sebenarnya jin jahat yang berusaha menjerumuskan aqidah manusia.
7.      Anak itu adalah karunia Allah yang pasti diberikan kepada orang yang sudah berkeluarga/ menikah. Persepsi ini keliru, sehingga orang yang tidak punya anak dianggapnya orang yang tidak sempurna, tidak bahagia, kalau sudah tua akan sengsara dan atribut- atribut buruk lainnya. Didalam Al-Qur’an disebutkan  bahwa anak itu adalah cobaan, ujian, perhiasan dunia, bahkan bisa menjadi musuh.  (QS. Al- Anfal: 28, At- Taghabun: 14, At- Taubah: 55, Al-Kahfi: 46.)
8.      Wanita itu harus berkarier seperti laki- laki. Persepsi ini keliru, karena tugas utama wanita adalah sebagai isteri dan ibu di dalam rumah tangga. Sedangkan pria sebagai suami, tugas utamanya adalah mencari nafkah untuk keluarganya. Kalaupun wanita harus bekerja di luar maka harus selektif dan hati- hati agar tidak meninggalkan tugas utamanya dan tidak bertentangan dengan kodrat wanitanya.
9.      Dalam pergaulan itu harus ada “take and give” (saling memberi dan menerima).  Persepsi ini keliru, karena dalam pandangan Islam hablumminannas itu harus didasarkan/ dilandasi niat yang ikhlas dan semata- mata mencari Ridha Allah, bukan untuk mendapatkan balasan dari manusia.
10. Kehidupan di neraka tidak kekal.  Persepsi ini menyebabkan manusia lengah dalam taat kepada Allah, karena  tidak takut akan ancaman Allah bagi orang- orang yang inkar kepada-Nya.