Rabu, 20 November 2013

MALU


Kajian Akhlaq

MEMUPUK RASA MALU


Nabi SAW bersabda (artinya):
“Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla apabila hendak membinasakan seorang hamba, maka dihilangkan-Nya dari hamba tersebut sifat malu. Jika sifat malu sudah tanggal, maka yang tinggal ialah sifat benci membenci. Apabila yang tinggal hanya sifat benci membenci, maka yang tinggal ialah sifat khianat menghianati. Apabila yang tinggal hanya sifat khianat mengkhianati,
maka tanggal pulalah dari padanya rahmat Allah. Jika rahmat Allah sudah tanggal, maka yang tinggal hanyalah laknat. Kalau yang tinggal hanya laknat saja, maka runtuhlah sama sekali asas- asas ke- Islam- annya.”
(Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu ‘Umar)


Malu Bagian Dari Iman
Malu termasuk kelompok akhlaq yang terpuji. Yang dimaksdu dengan malu di sini adalah rasa malu berbuat maksiyat dan munkarat, rasa malu melakukan kejahatan. Hilangnya sifat malu bukan saja membawa efek yang buruk dipandang dari sudut rohaniah, tetapi membawa pengaruh yang membahayakan pula bagi masyarakat. Pengaruhnya mempunyai mata rantai yang panjang yang saling sambung menyambung sebagaimana hadits di atas. Bahkan antara malu dan iman sangat erat kaitannya. Rasulullah SAW bersabda.
اَلحْيَاَءُ وَالاِْيمْاَنُ قُرَنَاءُ جمَِيْعًافَاِذَارُفِعَ اَحَدُهُمَارُفِعَ الْاَخَرَ. (رواه الحاكم)
“Malu dan iman itu adalah satu rumpun. Apabila terangkat (runtuh) yang satu, maka runtuh pulalah yang lainnya.” (HR. Al- Hakim).
            Di dalam hadits lain Nabi SAW menegaskan:
اَلْحَيَاءُ مِنَ اْلِاْيَمَانِ وَاْلِاْيَمانُ فِى الْجَنَّةِ
“Malu itu bagian daripada iman dan iman itu berada di dalam surga”
            Tiap orang sebetulnya punya rasa malu, entah besar atau kecil, yang merupakan kekuatan preventif di dalam dirinya dari perbuatan- perbuatan buruk, yang dapat menjatuhkan martabatnya ke tempat yang hina. Tetapi karena sebab yang bermacam- macam, rasa malu itu dapat luntur dan pudar sedikit demi sedikit, bahkan bisa lenyap. Kalau sifat malu sudah lenyap, maka tidak dapat diharapkan dari orang tersebut akan mendatangkan kebaikan, baik untuk dirinya apalagi untuk orang lain. Ibarat kendaraan, remnya sudah los/ blong tidak berfungsi lagi, maka kendaraan pun akan menabrak dan hancur. Karena itu dikatakan oleh Nabi SAW:
اِذَالَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَاشِئْتَ




“Apabila kamu tidak lagi malu, maka berbuatlah sesuka hatimu.”
Artinya terserah kamu, mau melakukan apapun, kamu sudah tidak lagi ada artinya bagi kehidupan kamu.
Jadi kalau malu masih ada tandanya iman masih ada. Demikian sebaliknya, kala malu sudah lenyap maka berarti iman pun  lenyap. Kalau iman sudah lenyap, terserah apa saja yang kamu mau perbuat, semuanya tak ada artinya. Dalam suatu hadits ditegaskan, bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang sangat pemalu, melebihi pemalunya gadis pingitan.
            Ahli tasawwuf membagi sifat malu kepada tiga macam, yaitu:
1.      Malu kepada Allah, ialah menghindarkan diri untuk tidak melakukan perbuatan maksiyat dan munkarat. Inilah malu yang sejati.
2.      Malu kepada manusia, ialah tidak mau menyinggung perasaan orang lain dan tidak mau berbuat buruk kepada manusia.
3.      Malu kepada diri sendiri, ialah takut apabila dirinya kena noda, bercacat, rendah, hina dan lain- lain.
           
Akibat Hilangnya Rasa Malu
Saat ini manusia sudah semakin kehilangan rasa malu berbuat maksiyat. Kejahatan, prostitusi/ pelacuran, penipuan terjadi di mana- mana  Semakin banyak manusia (para artis khususnya) tidak lagi merasa malu membuka aibnya sendiri. Bahkan merasa bangga melakukan maksiyat, dalam rangka mendongkrak popularitasnya. Demikian pula  banyak para terdakwa koruptor, masih mengumbar senyuman, tak terlihat ada penyesalan, bahkan berupaya menutupi kejahatannya dengan cara berdusta. Karenanya pantaslah kalau negeri Indonesia ini adalah negeri yang (mungkin) akan dihancurkan oleh Allah, terbukti dengan semakin banyaknya musibah yang menimpa kita. Akankah negeri     kita  ini  seperti  negri  Saba   yang diluluh  lantakkan oleh Allah karena kufur ni’mat yang dikaruniakan Allah SWT ? Naudzu billahi min dzalik.
           

Maka apabila suatu masyarakat, apalagi kalau para pemimpinnya sudah kehilangan sifat malu, pertanda akan datangnya kehancuran bangsa dan negaranya. Banyak contoh dalam sejarah, umat yang dihancurkan oleh Allah karena hilangnya sifat malu. Misalnya nasib umat nabi Luth yang dihancurkan oleh Allah SWT karena tidak malu melakukan perbuatan maksiyat, yaitu mesum sesama laki- laki (homo sexual).
            Diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, bahwasanya ia masuk ke dalam rumah nabi SAW,lalu mendapatkan beliau sedang menangis. Kemudian Umar bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang menyebabkan Engkau menangis ?” Beliau bersabda:
اَخْبَرَنِيْ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ اَنَّ اللهَ تعالى يَسْتَحِىْ مِنْ عَبْدٍ يَشِيْبُ فِى الْاِسْلاَمِ اَنْ يُعَذِّبَهُ اَفَلاَ يَسْتَحِىْ الشَّيْخُ مِنَ اللهِ اَنْ يَذْنَبَ بَعْدَ مَا شَابَ فِى اْلِاسْلاَمِ
“ Jibril AS memberitahukan kepadaku bahwasanya Allah SWT malu untuk menyiksa seseorang yang beruban (sudah tua) dalam Islam. Akan tetapi kenapa orang yang sudah tua itu tidak malu kepada Allah melakukan perbuatan dosa sesudah ia beruban dalam Islam”

Manifestasi Malu
Manifestasi adanya rasa malu adalah menjaga anggota tubuh dari perbuatan- perbuatan  maksiyat.
Rasulullah SAW bersabda
عن ابن مسعود قال: قل سول الله صلعم: اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ تعال حَقَّ الْحَيَاءِ فَقَالُوْا اِنَّا نَسْتَحِىْ مِنَ اللهِ والحمدلله قال لَيْسَ ذَلِكَ وَلَكِنْ مَنْ اِسْتَحَى من الله حَقَّ الْحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا حَوَى وَالْبَطْنَ وَمَا وَعَى وَلْيَذْكُرِ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ اَرَادَالْاَخِرَةَ تَرَكَ زِيْنَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اِسْتَحَى مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاِء
Dari Ibnu Mas’ud, Nabi SAW bersabda: “Malulah kamu kepada Allah dengan sebenar- benarnya malu. Para sahabat berkata; kami sudah malu kepada Allah, dan segala puji bagi Allah. Nabi SAW bersabda: Bukan sekedar demikian, tetapi siapa yang malu kepada Allah dengan sebenar- benarnya malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan anggota tubuh yang berada di kepala (mata, hidung, telinga dan mulut), perut dan yang berada di rongga dada, dan hendaklah ia mengingat mati dan kerusakan. Dan barang siapa yang menginginkan akhirat, maka harus meninggalkan kesenangan kehidupan dunia. Maka barang siapa yang telah mengerjakan yang demikian itu, niscaya ia telah benar- benar malu kepada Allah dengan sebenar- benarnya malu.” (HR. Al- Hakim dari Ibnu Mas’ud).
            Menutupi aurat sendiri dan upaya menghindari pandangan mata dari melihat aurat lawan jenis adalah bagian yang sangat khusus yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW dalam kaitannya dengan memupuk rasa malu.
            Bahz bin Hakim meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata: “Ya Rasulallah, apakah yang harus kami perbuat terhadap aurat dan apa yang harus kami jauhi ?” Nabi SAW menjawab: “Jagalah auratmu kecuali terhadap isterimu atau budak yang kamu miliki” Saya bertanya: “Ya rasulallah, bagaimana bila salah seorang diantara kami berada dalam tempat yang sunyi ?” Beliau menjawab: “Allah lebih berhak bila seseorang merasa malu kepada-Nya.”
            Diriwayatkan dari nabi Isa AS dimana beliau bersabda: “Jauhilah melihat, karena melihat itu menanamkan syahwat di dalam hati, dan cukuplah melihat itu sebagai fitnah bagi orang yang melihat”

Istiqamah Memupuk Malu
Istiqamah akan dapat memupuk rasa malu dan ahirnya melahirkan ketaqwaan, yaitu menyadari bahwa manusia itu diciptakan oleh Allah SWT semata- mata untuk beribadah kepada-Nya. Yakin baha apa yang diberikan dan digariskan Allah SWT, itulah yang terbaik.
Istiqamah artinya lurus dalam kebaikan dan teguh pendirian, tidak plin plan. Orang yang istiqamah itu bagaikan gunung; Tidak akan mencair karena panas, tidak akan membeku karena dingin, tidak akan bergerak karena angin kencang dan tidak akan berpindah karena banjir besar.
            Ada tiga tanda orang yang istiqamah:
1.      Senantiasa taat beribadah kepada Allah SWT meskipun orang- orang di sekelilingnya melakukan perbuatan dosa/ maksiyat
2.       Apabila ada orang yang mengajak berbuat maksiyat ia berani menolaknya dan mengatakan bahwa yang demikian itu tidak benar dan dimurkai Allah
3.       Hawa nafsunya tidak menghalangi dirinya untuk mengerjakan perintah Allah SWT
4.       Seluruh yang dimilikinya hanya digunakan untuk mengabdi kepada Allah SWT.

Drs.H.Djedjen Zainuuddin


HP. 0817732580

Tidak ada komentar:

Posting Komentar